Teori Kepribadian Otoritarian
Pada tahun 50an, bertepatan dengan usainya perang
dunia kedua lahir sebuah konsep baru dalam psikologi
yang seakan-akan mengintisarikan sebab musabab dari
perang dunia kedua, konsep itu adalah ‘kepribadian
otoritarian’.
Konsep kepribadian otoritarian disusun
oleh Theodor W Adorno, Else Frenkel Brunswik, Daniel
Levinson dan Nevitt Sanford berdasarkan studi dari Erich
Fromm, seorang psikoanalis pada tahun 1930an. Fromm
merupakan sosok yang pertama kali mengemukakan
istilah kepribadian Otoritarian, dimana ia merujuk
kepribadian otoritarian sebagai anti-semit dan menolak
nilai-nilai demokrasi.
Beberapa sifat yang dimiliki oleh seorang politikus dengan kepribadian otoritarian adalah antara lain (Dalam Mcnair, 2003):
1. Kaku, menerima secara buta konsep benar dan salah. Nilai-nilai yang diyakini adalah kepatuhan, keberhasilan, denial of emotions (tidak mengakui emosi pribadi), disiplin tinggi, menghormati orang tua dan pemimpin secara berlebih, membenci dorongan seksual yang dianggap tidak bermoral.
2. Hormat serta tunduk pada otoritas. Memiliki keinginan dan harapan terhadap kepemimpinan yang kuat, dimana para pengikutinya mengagungkan sosok pemimpin tersebut.
3. Melampiaskan amarah terhadap pihak lain. Individu yang patuh secara penuh terhadap pemimpinannya (submisif) tidak dapat mengungkapkan amarah serta emosinya terhadap sang pemimpin, oleh sebab itu ia akan melampiaskannya kepada pihak lain.
4. Tidak mempercayai orang lain. Ketika seorang pemimpin memiliki pandangan yang negatif terhadap orang lain ia akan cenderung mengeluarkan kebijakan yang keras didukung dengan penggunaan angkatan bersenjata.
5. Harus memiliki seorang pemimpin yang kuat dan menjadi anggota dari sebuah kelompok yang berkuasa. Pribadi otoritarian sangat etnosentris dan memiliki keinginan kuat untuk menjadi bagian dari bangsa yang superior, ras yang unggul, bangsa terkaya, serta kelompok yang terbaik dibandingkan kelompok manapun.
6. Menyederhanakan pemikiran. Individu otoritarian meyakini bahwa solusi terhadap permasalahan masyarakat adalah melalui intervensi kekuasaan.
7. Menjaga diri terhadap ide yang dianggap berbahaya. Sosok otoritarian merasa sudah memiliki gagasan-gagasan yang terbaik, dengan demikian gagasan-gagasan baru dianggap sebagai sebuah ancaman.
8. “Saya suci sedangkan orang lain jahat”. Pemimpin otoritarian akan menekan kecenderungan agresi serta seksualnya, namun mereka akan melepaskan dorongan hewani tersebut ke sosok individu dari kelompok yang dianggap bersebrangan. Selain itu, pemimpin otoritarian senantiasa merasa dikelilingi oleh orang-orang yang menyibukkan diri dengan dorongan seks serta kekerasan.
Pertanyaan mendasar yang mendorong Adorno dan rekan-rekan penelitinya pertama kali untuk merangkai teori mengenai kepribadian otoriter adalah “Hal apa yang mendorong para Nazi pada perang dunia kedua untuk tunduk serta patuh terhadap pemimpin dalam melakukan tindakan holocaust?”. Adorno dkk (dalam Pennington, 2000) menjelaskan secara lanjut bahwa seseorang dengan kepribadian otoritarian akan cenderung tunduk pada otoritas seseorang dengan kekuasaan diatasnya, di lain pihak ia akan cenderung untuk otoriter terhadap seseorang yang memiliki kekuasaan lebih rendah dari dirinya.
Kepribadian otoritarian sendiri diyakini muncul sebagai akibat dari pengalaman psikologis pada masa perkembangan yang kurang sehat. Orang tua, terutama sosok ayah yang berlaku terlalu keras serta kasar terhadap anak merupakan salah satu penyebab dari terbentuknya kepribadian otoritarian. Selain itu, doktrin dari sosok ayah yang terlalu banyak menanamkan larangan serta peraturan berdasarkan norma konvensional yang sedang berlaku juga akan menambah kemungkinan munculnya pribadi otoritarian pada anak. Ini karena anak akan menginternalisasi emosi serta amarah dari orang tua. Namun, amarah tersebut akan dipendam dan ditahan oleh anak karena ketidakmampuannya untuk melampiaskan emosi kepada sosok orang tua.
Dengan demikian, pelampiasan amarah serta agresi yang terpendam dari anak akan diarahkan kepada “kambing hitam” berupa sosok yang memiliki kekuasaan atau status lebih rendah, serta kelompok yang dianggap sebagai out-group. Berdasarkan beberapa studi kasus kepribadian otoritarian, Adorno dkk (dalam Pennington, 2000) menyusun sebuah parameter untuk mengukur kepribadian otoritarian. Alat ukur dari Adorno tersebut dinamakan F-Scale, dimana huruf ‘F’ merujuk pada kata Fasisme. Alat ukur F-Scale terdiri dari sembilan komponen yaitu konvensionalisme, ketundukan kepada otoritarianisme, agresi otoritarian, takhayul, kesibukan dengan kekuasaan dan sikap puritan terhadap seks. Setiap komponen memiliki empat hingga lima pertanyaan sehingga menghasilkan sekitar 50 aitem pertanyaan secara keseluruhan.
Seiring dengan waktu para peneliti menemukan bahwa alat ukur F-Scale kerap kurang mampu mengidentifi kasi dengan tajam kepribadian otoritarian. Terdapat ketidakjelasan dalam fungsi dari alat ukur F-Scale yaitu antara mengukur kepribadian otoritarian dengan mengukur sikap terhadap otoritarianisme.Christie (dalam Pennington, 2000) menemukan bahwa terdapat korelasi negatif antara tingkat pendidikan dengan kepribadian otoritarianisme berdasarkan F-scale. Dimana semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin rendah kecenderungan otoritarian yang dimilikinya. Hal ini menunjukkan bahwa kepribadian otoritarian yang diukur berdasarkan F-scale lebih menunjukkan sosialisasi di kelas ekonomi tertentu, bukan dorongan psikologis yang mendalam sebagaimana konsepsi Adorno yang terinspirasi psikonalisa dari Erich Fromm.
Hal lain yang menjadi kritik tajam terhadap F-Scale adalah kontennya yang lebih condong mengarah kepada prasangka dari penganut aliran politik “kanan”, sedang pada kenyataannya prasangka juga dimiliki oleh penganut aliran politik “kiri”. Oleh karena itu, Altmeyers seorang psikolog dari Kanada, pada tahun 80an mengkonstruksi ulang alat ukur yang lebih spesifi k berdasarkan F-scale dari Adorno berjudul Right wing authoritarian scale (R.W.A).R.W.Ascale dari Altmeyer hanya mengambil tiga komponen dari F-scale yaitu ketundukan pada otoritarianisme, agresi otoritarian, dan konvensionalisme. Berdasarkan studi dari Altmeyer pada tahun 1996 (dalam Pennington, 2000) dikatakan bahwa individu dengan kepribadian otoritarian memiliki beberapa karakteristik yaitu antara lain membenci kelompok homoseksual, pengidap AIDS, mendukung kelompok agama yang fundamentalis, dan cenderung setuju terhadap hukuman keras bagi kriminal.
Alat ukur dari Altmeyer hingga kini banyak digunakan sebagai dasar bagi studi mengenai psikologi politik , konflik antara kelompok, dan diskriminasi sosial. Akan tetapi, ia juga menerima kritikan yang tajam tentang interpretasinya yang uni-dimensional pada konteks yang spesifik. Kritik tersebut dilontarkan salah satunya oleh Karen Stenner lewat bukunya The otoritarian dynamic.
Ditulis oleh:
Dr. Muhammad Faisal
*Dilarang keras untuk mengambil sebagian atau keseluruhan artikel ini tanpa mengutip maupun meminta izin dari penulis
Foto Theodor W Adorno |
Beberapa sifat yang dimiliki oleh seorang politikus dengan kepribadian otoritarian adalah antara lain (Dalam Mcnair, 2003):
1. Kaku, menerima secara buta konsep benar dan salah. Nilai-nilai yang diyakini adalah kepatuhan, keberhasilan, denial of emotions (tidak mengakui emosi pribadi), disiplin tinggi, menghormati orang tua dan pemimpin secara berlebih, membenci dorongan seksual yang dianggap tidak bermoral.
2. Hormat serta tunduk pada otoritas. Memiliki keinginan dan harapan terhadap kepemimpinan yang kuat, dimana para pengikutinya mengagungkan sosok pemimpin tersebut.
3. Melampiaskan amarah terhadap pihak lain. Individu yang patuh secara penuh terhadap pemimpinannya (submisif) tidak dapat mengungkapkan amarah serta emosinya terhadap sang pemimpin, oleh sebab itu ia akan melampiaskannya kepada pihak lain.
4. Tidak mempercayai orang lain. Ketika seorang pemimpin memiliki pandangan yang negatif terhadap orang lain ia akan cenderung mengeluarkan kebijakan yang keras didukung dengan penggunaan angkatan bersenjata.
5. Harus memiliki seorang pemimpin yang kuat dan menjadi anggota dari sebuah kelompok yang berkuasa. Pribadi otoritarian sangat etnosentris dan memiliki keinginan kuat untuk menjadi bagian dari bangsa yang superior, ras yang unggul, bangsa terkaya, serta kelompok yang terbaik dibandingkan kelompok manapun.
6. Menyederhanakan pemikiran. Individu otoritarian meyakini bahwa solusi terhadap permasalahan masyarakat adalah melalui intervensi kekuasaan.
7. Menjaga diri terhadap ide yang dianggap berbahaya. Sosok otoritarian merasa sudah memiliki gagasan-gagasan yang terbaik, dengan demikian gagasan-gagasan baru dianggap sebagai sebuah ancaman.
8. “Saya suci sedangkan orang lain jahat”. Pemimpin otoritarian akan menekan kecenderungan agresi serta seksualnya, namun mereka akan melepaskan dorongan hewani tersebut ke sosok individu dari kelompok yang dianggap bersebrangan. Selain itu, pemimpin otoritarian senantiasa merasa dikelilingi oleh orang-orang yang menyibukkan diri dengan dorongan seks serta kekerasan.
Pertanyaan mendasar yang mendorong Adorno dan rekan-rekan penelitinya pertama kali untuk merangkai teori mengenai kepribadian otoriter adalah “Hal apa yang mendorong para Nazi pada perang dunia kedua untuk tunduk serta patuh terhadap pemimpin dalam melakukan tindakan holocaust?”. Adorno dkk (dalam Pennington, 2000) menjelaskan secara lanjut bahwa seseorang dengan kepribadian otoritarian akan cenderung tunduk pada otoritas seseorang dengan kekuasaan diatasnya, di lain pihak ia akan cenderung untuk otoriter terhadap seseorang yang memiliki kekuasaan lebih rendah dari dirinya.
Kepribadian otoritarian sendiri diyakini muncul sebagai akibat dari pengalaman psikologis pada masa perkembangan yang kurang sehat. Orang tua, terutama sosok ayah yang berlaku terlalu keras serta kasar terhadap anak merupakan salah satu penyebab dari terbentuknya kepribadian otoritarian. Selain itu, doktrin dari sosok ayah yang terlalu banyak menanamkan larangan serta peraturan berdasarkan norma konvensional yang sedang berlaku juga akan menambah kemungkinan munculnya pribadi otoritarian pada anak. Ini karena anak akan menginternalisasi emosi serta amarah dari orang tua. Namun, amarah tersebut akan dipendam dan ditahan oleh anak karena ketidakmampuannya untuk melampiaskan emosi kepada sosok orang tua.
Dengan demikian, pelampiasan amarah serta agresi yang terpendam dari anak akan diarahkan kepada “kambing hitam” berupa sosok yang memiliki kekuasaan atau status lebih rendah, serta kelompok yang dianggap sebagai out-group. Berdasarkan beberapa studi kasus kepribadian otoritarian, Adorno dkk (dalam Pennington, 2000) menyusun sebuah parameter untuk mengukur kepribadian otoritarian. Alat ukur dari Adorno tersebut dinamakan F-Scale, dimana huruf ‘F’ merujuk pada kata Fasisme. Alat ukur F-Scale terdiri dari sembilan komponen yaitu konvensionalisme, ketundukan kepada otoritarianisme, agresi otoritarian, takhayul, kesibukan dengan kekuasaan dan sikap puritan terhadap seks. Setiap komponen memiliki empat hingga lima pertanyaan sehingga menghasilkan sekitar 50 aitem pertanyaan secara keseluruhan.
Seiring dengan waktu para peneliti menemukan bahwa alat ukur F-Scale kerap kurang mampu mengidentifi kasi dengan tajam kepribadian otoritarian. Terdapat ketidakjelasan dalam fungsi dari alat ukur F-Scale yaitu antara mengukur kepribadian otoritarian dengan mengukur sikap terhadap otoritarianisme.Christie (dalam Pennington, 2000) menemukan bahwa terdapat korelasi negatif antara tingkat pendidikan dengan kepribadian otoritarianisme berdasarkan F-scale. Dimana semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin rendah kecenderungan otoritarian yang dimilikinya. Hal ini menunjukkan bahwa kepribadian otoritarian yang diukur berdasarkan F-scale lebih menunjukkan sosialisasi di kelas ekonomi tertentu, bukan dorongan psikologis yang mendalam sebagaimana konsepsi Adorno yang terinspirasi psikonalisa dari Erich Fromm.
Hal lain yang menjadi kritik tajam terhadap F-Scale adalah kontennya yang lebih condong mengarah kepada prasangka dari penganut aliran politik “kanan”, sedang pada kenyataannya prasangka juga dimiliki oleh penganut aliran politik “kiri”. Oleh karena itu, Altmeyers seorang psikolog dari Kanada, pada tahun 80an mengkonstruksi ulang alat ukur yang lebih spesifi k berdasarkan F-scale dari Adorno berjudul Right wing authoritarian scale (R.W.A).R.W.Ascale dari Altmeyer hanya mengambil tiga komponen dari F-scale yaitu ketundukan pada otoritarianisme, agresi otoritarian, dan konvensionalisme. Berdasarkan studi dari Altmeyer pada tahun 1996 (dalam Pennington, 2000) dikatakan bahwa individu dengan kepribadian otoritarian memiliki beberapa karakteristik yaitu antara lain membenci kelompok homoseksual, pengidap AIDS, mendukung kelompok agama yang fundamentalis, dan cenderung setuju terhadap hukuman keras bagi kriminal.
Alat ukur dari Altmeyer hingga kini banyak digunakan sebagai dasar bagi studi mengenai psikologi politik , konflik antara kelompok, dan diskriminasi sosial. Akan tetapi, ia juga menerima kritikan yang tajam tentang interpretasinya yang uni-dimensional pada konteks yang spesifik. Kritik tersebut dilontarkan salah satunya oleh Karen Stenner lewat bukunya The otoritarian dynamic.
Ditulis oleh:
Dr. Muhammad Faisal
*Dilarang keras untuk mengambil sebagian atau keseluruhan artikel ini tanpa mengutip maupun meminta izin dari penulis
Komentar