Teori Kepribadian BIG FIVE dari Costa & McRae dalam konteks Politik

Teori kepribadian big five merupakan sebuah teori psikologi yang menjelaskan kepribadian manusia secar
Paul Costa


a ringkas dan komprehensif melalui pengukuran lima dimensi. Teori ini menerangkan bahwa perilaku manusia dapat dijelaskan melalui lima faktor utama yang terdiri dari openness yaitu sifat terbuka terhadap pengetahuan dan pengalaman baru, conscientiousness yaitu kecenderungan untuk berfikir serta berperilaku secara teroganisir juga berorientasi capaian, extraverssion yaitu kecenderungan untuk menyukai interaksi juga stimulus sosial, agreeableness yaitu tendensi untuk percaya serta bersahabat dengan orang lain, dan neuroticism yaitu kecondongan untuk mengalami emosi-emosi negatif.
            Teori kepribadi big five  merupakan sebuah produk riset longitudinal dari para tokoh ternama psikologi untuk menemukan aspek-aspek kepribadian manusia yang paling mendasar. Upaya para ilmuwan psikologi tersebut telah dilakukan sejak dekade 40 melalui beberapa tokoh, di antaranya D.W Fiske seorang ahli psikologi klinis, E. Tupes dan R. Crystal, serta J.M Digman bersama Goldman. Akan tetapi, baru pada dekade 90-an pendekatan lima faktor dapat terorganisir dengan baik serta mendapatkan perhatian lebih dari kalangan akademisi. McRae dan John (1990) mengemukakan bahwa pada dekade 90 penelitian mengenai pendekatan lima faktor dalam kepribadian tumbuh dengan pesat dan mulai meneliti isu-isu aplikatif dari lima trait kepribadian big five.
Robert McCrae
            Pendekatan lima faktor kepribadian, sebagaimana yang digunakan oleh teori big five, telah terbukti memiliki konsistensi dan keajegan yang tinggi secara lintas kultural maupun lintas alat ukur (McCrae & Costa dalam McAdams & Pals, 2006; Paunonen et al, 2001). Hal tersebut dicapai karena big five theory merupakan integrasi dari berbagai fungsi deskripsi kepribadian yang pernah ada (John & Srivasta, 1999). Denissen dan Penken (dalam Gerber, 2010) secara lebih jauh mengemukakan bahwa teori big five sebenarnya menjelaskan disposisi kepribadian yang inti, yaitu reaksi motivasional dari individu yang bersifat stabil terhadap berbagai stimulus lingkungan. Karena sifatnya yang mendasar dan disposisional dalam diri manusia, party identification konsisten dari waktu ke waktu dan mempengaruhi berbagai spektrum perilaku manusia.
Pengukuran lima trait kepribadian big five, berbeda dengan konsepsi Miller (1994) tentang evaluasi tokoh Parpol yang menggunakan pertanyaan langsung tanpa dimensi dan turunan kriterion dalam pengukurannya. Pendekatan big five memiliki lingkup deskripsi yang luas dari setiap dimensinya. Costa dan McCrae (dalam Pervin, 2005) menyatakan bahwa terdapat lima faset atau sub-faktor dari setiap dimensi dari teori big five. Faset-Faset tersebut adalah sebagai berikut; Extraversion terdiri dari gregariousness (suka berteman), activity level, (tingkat aktivitas), assertiveness (asertif), excitement seeking (mencari kesenangan), positive emotions (emosi positif), warmth (kehangatan). Lalu, Agreeableness terdiri dari straightforwardness (terus terang), trust (kepercayaan), altruism (mendahulukan kepentingan orang lain), modesty (rendah hati), tendermindedness (berperasaan lembut), dan compliance (kepatuhan penuh). Sedangkan, Conscientiousness terdiri dari self discipline (disiplin), dutifulness (patuh), competence (kompeten), order (keberaturan), deliberation (penuh pertimbangan), achievement striving (giat mencapai prestasi).
 Teori big five  menggunakan berbagai kata sifat sebagai media ukur yang teruji lewat analisis faktor mewakili dimensi dasar kepribadian manusia (Pervin, 1997).  Metode yang digunakan dalam teori big five untuk mencapai agregasi lima faktor  kepribadian tersebut adalah analisis leksikal. Yaitu, sebuah pendekatan studi kepribadian yang meyakini bahwa berbagai sifat dan karakter manusia terekam dengan baik dalam berbagai perumpamaan dan kata sifat yang digunakan dalam bahasa sehari-hari. John dan Srivasta (1999) menuturkan bahwa usaha-usaha untuk memetakan kepribadian dasar manusia lewat analisis leksikal selalu mengalami kegagalan pada era 40 an, di antaranya lewat tokoh-tokoh ternama seperti Cattel dan Allport. Kegagalan tersebut terjadi karena keterbatasan komputasi statistik yang baru bisa dicapai pada dekade 90.
            Bleigh (2011) dalam artikelnya berjudul ‘Personality theories of leaderships’ menyertakan teori big five sebagai salah satu teori yang dapat digunakan untuk meneliti kepribadian dari pemimpin. Penjelasan dari Bleigh (2011) mengenai masing-masing dimensi dari teori big five adalah sebagai berikut; conscientiousness adalah sifat  kedua yang paling berkorelasi dengan kepemimpinan, ia adalah kecenderungan untuk berperilaku secara tertata dan teroganisir, sikap terkendali, menyelesaikan tugas dengan tuntas, tegas, dan dapat diandalkan. Sementara itu, Agreeableness adalah sikap mudah percaya, kecenderungan konformitas yang tinggi,  serta mengayomi orang lain. Agreeableness sendiri memiliki korelasi yang rendah dengan kepemimpinan.  Di tempat lain, neuroticsm adalah tendensi untuk memiliki kecemasan yang tinggi, kerap mengancam orang lain, depresif, rapuh, dan labil. Bleigh (2011) mengemukakan bahwa neuroticsm berkorelasi secara negatif dengan kepemimpinan, di mana para pemimpin cenderung memiliki skor yang rendah dalam dimensi ini.
            Openness dan Extraversion merupakan dua dimensi lain yang juga diterangkan oleh Bleigh (2011) dalam artikelnya berjudul ‘Personality theories of leaderships’. Openness  digambarkan sebagai keterbukaan individu terhadap pengalaman baru, kecenderungan individu untuk selalu ingin tahu, penuh gagasan, kreatif, dan inovatif. Openness sendiri berkorelasi secara moderat dengan kepemimpinan. Dengan kata lain, pemimpin cenderung memiliki tingkat openness yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang bukan pemimpin. Sedangkan dimensi extraversion disebut-sebut sebagai dimensi dengan korelasi paling tinggi dengan kepemimpinan. Extraversion didefinisikan sebagai faktor kepribadian berupa kecenderungan sosial yang tinggi, asertif, dan penuh energi positif. Bleigh (2011) menyatakan bahwa extraversion merupakan faktor kepribadian yang paling penting dalam kepemimpinan.

            Setiap dimensi dari trait kepribadian big five  memiliki sebuah rentang kontinum yang berfungsi mendeskripsikan kepribadian individu sesuai dengan tingkatan trait­-nya pada dimensi tertentu. Penjelasan mengenai deksripsi dari setiap kontinum tersebut disusun oleh Costa dan McCrae pada tahun 1985 dan tertancum dalam buku ‘personality theory and research’ dari Pervin dan John (1997). Penjelasan tersebut tergambarkan pada tabel berikut.
Karakteristik dari individu dengan skor tinggi
Skala sifat
Karakteristik dari individu dengan skor rendah

Cemas, khawatir, gugup, emosional, merasa tidak aman terhadap diri, tidak seimbang secara emosional, hypocodriacal
NEUROTICISM (N)
Mengukur penyesuaian vs ketidakseimbangan emosional
Mengidentifikasi individu yang rawan untuk mengalami tekanan psikologis, ide-ide yang tidak rasional, keinginan yang eksesif, dan ketidakmampuan untuk melakukan respon coping

Tenang, relaks, tidak emosional, puas dengan diri, merasa aman

Sosial, aktif, suka berbicara, berorientasi pada individu, optimis, mencinta, penyayang
EXTRAVERSION (E )
Mengukur kuantitas dan intensitas dari interaksi interpersonal , tingkat aktivitas, kebutuhan untuk stimulasi dan kapasitas untuk bahagia

Tertutup, mabuk, unexuberant, penyendiri. berorientasi pada tugas, mudah menyerah, pendiam

Penuh rasa penasaran, luas minat, kreatif, orisinil. Imajinatif, tidak tradisional
OPENNESS (O)
Mengukur pencarian secara proaktif dan apresiasi terhadap pengalaman, toleransi terhadap hal baru dan eksplorasi terhadap hal-hal yang asing

Konvensional, rendah hati, kurang minat, tidak artistik, tidak analitik

Berhati  lembut, memiliki dorongan baik, percaya pada orang lain, suka menolong, suka memaafkan, polos, terus terang
AGREEABLENESS (A)
Mengukur kualitas orientasi interpersonal individu dalam sebuah kontinum di mana terdapat compassion dan antagonisme pada setiap penghujungnya, begitu pula pikiran, perasaan dan aksi

Sinis, kasar, penuh curiga, sulit diajak kerjasama, pendendam, kejam, mudah tersinggung, manipulatif

Tertata, dapat dihandalkan, pekerja keras, disiplin diri, tepat waktu,. teliti, rapih, ambisious, tekun
CONSCIENTIOUSNESS (C )
Mengukur seberapa jauh individu tertata dan terorganisir, begitu pula bagaimana persistensinya, juga motivasinya dalam perilaku yang berorientasi tujuan. Pada kontinum yang berseberangan terdapat sifat bergantung pada orang lain, rewel dan lesu

Tanpa tujuan, tidak dapat dihandalkan, pemalas, ceroboh, lax, lalai, berhasrat rendah, hedonistik


Buku Introduction to psychology yang ditulis oleh Cottam et al (2009) secara eksplisit menuliskan bahwa teori kepribadian big five  merupakan salah satu teori yang dapat digunakan untuk menganalisis perilaku manusia dalam konteks politik. Pada ranah psikologi politik sendiri, analisis kepribadian pada umumnya digunakan oleh para peneliti psikologi politik untuk menggali anteseden perilaku dari para pemimpin politik. F D Rosevelt, Ronald Reagan, Saddam Hussein, George W Bush, Mao, Adolf Hitler, dan Bill Clinton merupakan beberapa nama pemimpin politik terkemuka yang pernah menjadi bahan analisis dalam kajian  psikologi politik (Greenstein; 1992, Post; 2003; Greenstein, 2000; Huddy et al, 2013).  Analisis kepribadian para pemimpin politik dalam psikologi, karena keterbatasan akses wawancara terhadap para pemimpin politik sebagai obyek penelitian, kerap menggunakan analisis by distance, yaitu observasi dari kejauhan, dan historiografi atau analisis rekam jejak kehidupan sebagai metode pengambilan data (Greenstein; 1992, Post; 2003). Secara lebih lanjut, hasil analisis dari berbagai sumber data tersebut digunakan untuk memahami pengambilan keputusan, kebijakan, dan gaya kepemimpinan seorang tokoh dalam konteks politik atau kepresidenan.
Berdasarkan pemaparan dari Huddy et al (2013) dalam “The oxford handbook of political psychology” teori big five merupakan sebuah teori yang dianggap kuat dalam meneliti kepribadian para pemimpin politik. Huddy et al (2013) secara lanjut mengatakan bahwa pengukuran dari lima sifat  kepribadian big five sendiri menunjukkan kekonsistenan yang baik pada benua-benua berbahasa indo-eropa. Lebih dari itu, pengkuran dari lima sifat kepribadian big five tidak hanya handal ketika digunakan sebagai pengukuran self report (laporan diri), akan tetapi ia juga handal ketika digunakan sebagai media pengukuran untuk mengukur orang lain.   Penelitian yang menggunakan big five sebagai alat ukur bagi seorang rater pernah diuji keakuratannya oleh Swede dan Tetlock pada tahun 1986 (dalam Huddy et al, 2013). Yaitu, ketika meminta mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Henry Kissinger untuk me-rating sejumlah pemimpin politik dunia.  Riset dari Swede dan Tetlok (dalam Huddy et al, 2013) tersebut menunjukkan konsistensi yang baik dari pengukuran melalui limat sifat  kepribadian big five.
Sejak kebangkitan pendekatan lima faktor dalam ilmu psikologi pada era 70-an, teori big five dalam psikologi politik lebih banyak digunakan sebagai kerangka analisis kepribadian para pemimpin politik, namun beberapa penelitian mutakhir mulai menunjukkan penggunaan big five pada konteks perilaku pemilih dalam pemilihan umum.  Gerber et al (2010) melalui penelitian mereka mengenai keterkaitan antara kepribadian dengan sikap politik menemukan bahwa big five theory juga memiliki nilai prediksi yang sangat kuat terhadap ideologi. Bahkan, lebih jauh dari itu hasil penelitian tersebut menyebutkan bahwa nilai prediktif dari big five theory terhadap ideology sama besar dengan variabel pendidikan dan pendapatan pemilih. Penelitian dari Gerber merupakan salah satu penelitian yang menggunakan teori kepribadian big five dalam konteks perilaku pemilih dalam pemilihan umum.
Caprara et al (2004) juga turut melakukan penelitian mengenai perilaku pemilih di Itali dengan menggunakan teori lima sifat  kepribadian big five. Dalam artikel jurnalnya berjudul “The personalization of politics:the italian case” Caprara mengemukakan bahwa terdapat relasi yang signifikan antara pola kepribadian pemilih menggunakan big five dengan kepribadian dari para kandidat yang mereka pilih dalam Pemilu. Lebih dari itu, kesimpulan dari analisis data Caprara et al (2004) dengan menggunakan regresi logistik menunjukkan bahwa terdapat pengaruh dari nilai-nilai yang terepresentasi dalam lima sifat kepribadian big five, faktor demografis, dan nilai sifat kepribadian kandidat dengan intensi untuk memilih dalam Pemilu. Caprara et al (2004) menggunakan pengukuran lima sifat kepribadian big five baik sebagai alat self report maupun sebagai alat rating untuk mengukur sifat  kepribadian kandidat politik yang hendak dipilih.
Penelitian mengenai peran lima sifat kepribadian big five dalam pemilihan umum yang paling mutakhir dilakukan oleh Turska-Kawa (2013) pada konteks pemilihan umum di Polandia. Turska-Kawa (2013) menggunakan pengukuran big five untuk melakukan kategorisasi kepribadian para pemilih melalui analisis kluster. Hasilnya menunjukkan empat kategori atau tipe pemilih di Polandia, yaitu pemilih volatile, passive, loyal, dan unsystematic.  Kategorisasi ­loyal hingga unsystematic menunjukkan tingkat konsistensi pemilih dari satu periode Pemilu ke periode Pemilu berikutnya, dengan pemilih loyal berada pada salah satu ujung kontinum yaitu mereka yang selalu menunjukkan konsistensi memilih sedangkan pemilih unsystematic berada pada ujung kontinum yang berlawanan.  Hasil data responden yang telah terkategorisasi lalu dianalisis oleh Turska-Kawa (2013) dengan menggunakan analisis kluster untuk menjelaskan kepribadian masing-masing kategori pemilih berdasarkan lima sifat kepribadian big five. Tiga di antara lima sifat kepribadian big five terindikasi berpengaruh terhadap kategorisasi  pemilih yang telah disusun. Tiga dimensi dari big five tersebut adalah neuroticism, agreeableness, dan openness to experience.

Ditulis oleh: Dr Muhammad Faisal
* Dilarang mengambil sebagian atau keseluruhan artikel tanpa izin dari penulis

Komentar

Postingan Populer