Teori Kepribadian BIG FIVE dari Costa & McRae dalam konteks Politik
Teori kepribadian big five merupakan sebuah teori
psikologi yang menjelaskan kepribadian manusia secar
a ringkas dan komprehensif melalui pengukuran lima dimensi. Teori ini menerangkan bahwa perilaku manusia dapat dijelaskan melalui lima faktor utama yang terdiri dari openness yaitu sifat terbuka terhadap pengetahuan dan pengalaman baru, conscientiousness yaitu kecenderungan untuk berfikir serta berperilaku secara teroganisir juga berorientasi capaian, extraverssion yaitu kecenderungan untuk menyukai interaksi juga stimulus sosial, agreeableness yaitu tendensi untuk percaya serta bersahabat dengan orang lain, dan neuroticism yaitu kecondongan untuk mengalami emosi-emosi negatif.
Paul Costa |
a ringkas dan komprehensif melalui pengukuran lima dimensi. Teori ini menerangkan bahwa perilaku manusia dapat dijelaskan melalui lima faktor utama yang terdiri dari openness yaitu sifat terbuka terhadap pengetahuan dan pengalaman baru, conscientiousness yaitu kecenderungan untuk berfikir serta berperilaku secara teroganisir juga berorientasi capaian, extraverssion yaitu kecenderungan untuk menyukai interaksi juga stimulus sosial, agreeableness yaitu tendensi untuk percaya serta bersahabat dengan orang lain, dan neuroticism yaitu kecondongan untuk mengalami emosi-emosi negatif.
Teori kepribadi big five merupakan sebuah
produk riset longitudinal dari para tokoh ternama psikologi untuk menemukan
aspek-aspek kepribadian manusia yang paling mendasar. Upaya para ilmuwan psikologi
tersebut telah dilakukan sejak dekade 40 melalui beberapa tokoh, di antaranya
D.W Fiske seorang ahli psikologi klinis, E. Tupes dan R. Crystal, serta J.M
Digman bersama Goldman. Akan tetapi, baru pada dekade 90-an pendekatan lima
faktor dapat terorganisir dengan baik serta mendapatkan perhatian lebih dari
kalangan akademisi. McRae dan John (1990) mengemukakan bahwa pada dekade 90
penelitian mengenai pendekatan lima faktor dalam kepribadian tumbuh dengan
pesat dan mulai meneliti isu-isu aplikatif dari lima trait kepribadian big five.
Robert McCrae |
Pengukuran
lima trait kepribadian big five, berbeda dengan konsepsi Miller
(1994) tentang evaluasi tokoh Parpol yang menggunakan pertanyaan langsung tanpa
dimensi dan turunan kriterion dalam pengukurannya. Pendekatan big five memiliki lingkup deskripsi yang luas dari setiap dimensinya.
Costa dan McCrae (dalam Pervin, 2005) menyatakan bahwa terdapat lima faset atau
sub-faktor dari setiap dimensi dari teori big
five. Faset-Faset tersebut
adalah sebagai berikut; Extraversion terdiri dari gregariousness (suka berteman), activity level, (tingkat aktivitas), assertiveness (asertif), excitement seeking (mencari kesenangan),
positive emotions (emosi positif), warmth (kehangatan). Lalu, Agreeableness terdiri dari straightforwardness (terus terang), trust (kepercayaan), altruism (mendahulukan kepentingan orang
lain), modesty (rendah hati), tendermindedness (berperasaan lembut),
dan compliance (kepatuhan penuh). Sedangkan,
Conscientiousness terdiri dari self discipline (disiplin), dutifulness (patuh), competence (kompeten), order (keberaturan), deliberation (penuh pertimbangan), achievement striving (giat mencapai
prestasi).
Teori big
five menggunakan berbagai kata sifat
sebagai media ukur yang teruji lewat analisis faktor mewakili dimensi dasar kepribadian
manusia (Pervin, 1997). Metode yang digunakan dalam teori big five untuk mencapai agregasi lima
faktor kepribadian tersebut adalah analisis
leksikal. Yaitu, sebuah pendekatan studi kepribadian yang meyakini bahwa
berbagai sifat dan karakter manusia terekam dengan baik dalam berbagai perumpamaan
dan kata sifat yang digunakan dalam bahasa sehari-hari. John dan Srivasta
(1999) menuturkan bahwa usaha-usaha untuk memetakan kepribadian dasar manusia
lewat analisis leksikal selalu mengalami kegagalan pada era 40 an, di antaranya
lewat tokoh-tokoh ternama seperti Cattel dan Allport. Kegagalan tersebut
terjadi karena keterbatasan komputasi statistik yang baru bisa dicapai pada
dekade 90.
Bleigh (2011) dalam artikelnya
berjudul ‘Personality theories of
leaderships’ menyertakan teori big
five sebagai salah satu
teori yang dapat digunakan untuk meneliti kepribadian dari pemimpin. Penjelasan
dari Bleigh (2011) mengenai masing-masing dimensi dari teori big five adalah sebagai berikut; conscientiousness adalah sifat kedua yang paling berkorelasi dengan
kepemimpinan, ia adalah kecenderungan untuk berperilaku secara tertata dan
teroganisir, sikap terkendali, menyelesaikan tugas dengan tuntas, tegas, dan
dapat diandalkan. Sementara itu, Agreeableness
adalah sikap mudah percaya, kecenderungan konformitas yang tinggi, serta mengayomi orang lain. Agreeableness sendiri memiliki korelasi
yang rendah dengan kepemimpinan. Di
tempat lain, neuroticsm adalah
tendensi untuk memiliki kecemasan yang tinggi, kerap mengancam orang lain, depresif,
rapuh, dan labil. Bleigh (2011) mengemukakan bahwa neuroticsm berkorelasi secara
negatif dengan kepemimpinan, di mana para pemimpin cenderung memiliki skor yang
rendah dalam dimensi ini.
Openness
dan Extraversion merupakan dua
dimensi lain yang juga diterangkan oleh Bleigh (2011) dalam artikelnya berjudul
‘Personality theories of leaderships’.
Openness digambarkan sebagai keterbukaan individu
terhadap pengalaman baru, kecenderungan individu untuk selalu ingin tahu, penuh
gagasan, kreatif, dan inovatif. Openness sendiri
berkorelasi secara moderat dengan kepemimpinan. Dengan kata lain, pemimpin
cenderung memiliki tingkat openness yang lebih tinggi dibandingkan
dengan mereka yang bukan pemimpin. Sedangkan dimensi extraversion disebut-sebut sebagai dimensi dengan korelasi paling
tinggi dengan kepemimpinan. Extraversion didefinisikan
sebagai faktor kepribadian berupa kecenderungan sosial yang tinggi, asertif,
dan penuh energi positif. Bleigh (2011) menyatakan bahwa extraversion merupakan faktor kepribadian yang paling penting dalam
kepemimpinan.
Setiap
dimensi dari trait kepribadian big five memiliki sebuah rentang kontinum yang berfungsi
mendeskripsikan kepribadian individu sesuai dengan tingkatan trait-nya pada dimensi tertentu.
Penjelasan mengenai deksripsi dari setiap kontinum tersebut disusun oleh Costa
dan McCrae pada tahun 1985 dan tertancum dalam buku ‘personality theory and research’ dari Pervin dan John (1997).
Penjelasan tersebut tergambarkan pada tabel berikut.
Karakteristik dari individu dengan skor tinggi
|
Skala sifat
|
Karakteristik dari individu dengan skor rendah
|
Cemas, khawatir, gugup, emosional, merasa tidak aman terhadap diri,
tidak seimbang secara emosional, hypocodriacal
|
NEUROTICISM (N)
Mengukur penyesuaian vs ketidakseimbangan emosional
Mengidentifikasi individu yang rawan untuk mengalami tekanan
psikologis, ide-ide yang tidak rasional, keinginan yang eksesif, dan
ketidakmampuan untuk melakukan respon coping
|
Tenang, relaks, tidak emosional, puas dengan diri, merasa aman
|
Sosial, aktif, suka berbicara, berorientasi pada individu, optimis,
mencinta, penyayang
|
EXTRAVERSION (E )
Mengukur kuantitas dan intensitas dari interaksi
interpersonal , tingkat aktivitas, kebutuhan untuk stimulasi dan kapasitas
untuk bahagia
|
Tertutup, mabuk, unexuberant,
penyendiri. berorientasi pada tugas, mudah menyerah, pendiam
|
Penuh rasa penasaran, luas minat, kreatif, orisinil. Imajinatif, tidak
tradisional
|
OPENNESS (O)
Mengukur pencarian secara proaktif dan apresiasi
terhadap pengalaman, toleransi terhadap hal baru dan eksplorasi terhadap
hal-hal yang asing
|
Konvensional, rendah hati, kurang minat, tidak artistik, tidak
analitik
|
Berhati lembut, memiliki
dorongan baik, percaya pada orang lain, suka menolong, suka memaafkan, polos,
terus terang
|
AGREEABLENESS (A)
Mengukur kualitas orientasi interpersonal individu
dalam sebuah kontinum di mana terdapat compassion
dan antagonisme pada setiap penghujungnya, begitu pula pikiran, perasaan dan
aksi
|
Sinis, kasar, penuh curiga, sulit diajak kerjasama, pendendam, kejam,
mudah tersinggung, manipulatif
|
Tertata, dapat dihandalkan, pekerja keras, disiplin diri, tepat
waktu,. teliti, rapih, ambisious, tekun
|
CONSCIENTIOUSNESS (C )
Mengukur seberapa jauh individu tertata dan terorganisir,
begitu pula bagaimana persistensinya, juga motivasinya dalam perilaku yang
berorientasi tujuan. Pada kontinum yang berseberangan terdapat sifat
bergantung pada orang lain, rewel dan lesu
|
Tanpa tujuan, tidak dapat dihandalkan, pemalas, ceroboh, lax, lalai, berhasrat rendah,
hedonistik
|
Buku
Introduction to psychology yang
ditulis oleh Cottam et al (2009)
secara eksplisit menuliskan bahwa teori kepribadian big five merupakan salah
satu teori yang dapat digunakan untuk menganalisis perilaku manusia dalam
konteks politik. Pada ranah psikologi politik sendiri, analisis kepribadian
pada umumnya digunakan oleh para peneliti psikologi politik untuk menggali anteseden
perilaku dari para pemimpin politik. F D Rosevelt, Ronald Reagan, Saddam
Hussein, George W Bush, Mao, Adolf Hitler, dan Bill Clinton merupakan beberapa
nama pemimpin politik terkemuka yang pernah menjadi bahan analisis dalam
kajian psikologi politik (Greenstein;
1992, Post; 2003; Greenstein, 2000; Huddy et
al, 2013). Analisis kepribadian para
pemimpin politik dalam psikologi, karena keterbatasan akses wawancara terhadap para
pemimpin politik sebagai obyek penelitian, kerap menggunakan analisis by distance, yaitu observasi dari kejauhan, dan historiografi atau
analisis rekam jejak kehidupan sebagai metode pengambilan data (Greenstein;
1992, Post; 2003). Secara lebih lanjut, hasil analisis dari berbagai sumber
data tersebut digunakan untuk memahami pengambilan keputusan, kebijakan, dan gaya
kepemimpinan seorang tokoh dalam konteks politik atau kepresidenan.
Berdasarkan
pemaparan dari Huddy et al (2013)
dalam “The oxford handbook of political
psychology” teori big five
merupakan sebuah teori yang dianggap kuat dalam meneliti kepribadian para
pemimpin politik. Huddy et al (2013)
secara lanjut mengatakan bahwa pengukuran dari lima sifat kepribadian big five sendiri menunjukkan kekonsistenan
yang baik pada benua-benua berbahasa indo-eropa. Lebih dari itu, pengkuran dari
lima sifat kepribadian big five tidak hanya handal ketika
digunakan sebagai pengukuran self report
(laporan diri), akan tetapi ia juga handal ketika digunakan sebagai media
pengukuran untuk mengukur orang lain.
Penelitian yang menggunakan big
five sebagai alat ukur
bagi seorang rater pernah diuji
keakuratannya oleh Swede dan Tetlock pada tahun 1986 (dalam Huddy et al, 2013). Yaitu, ketika meminta
mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Henry Kissinger untuk me-rating
sejumlah pemimpin politik dunia. Riset
dari Swede dan Tetlok (dalam Huddy et al,
2013) tersebut menunjukkan konsistensi yang baik dari pengukuran melalui limat sifat kepribadian big five.
Sejak
kebangkitan pendekatan lima faktor dalam ilmu psikologi pada era 70-an, teori big five dalam psikologi politik lebih
banyak digunakan sebagai kerangka analisis kepribadian para pemimpin politik,
namun beberapa penelitian mutakhir mulai menunjukkan penggunaan big five pada konteks perilaku pemilih
dalam pemilihan umum. Gerber et al (2010) melalui
penelitian mereka mengenai keterkaitan antara kepribadian dengan sikap politik
menemukan bahwa big five theory juga
memiliki nilai prediksi yang sangat kuat terhadap ideologi. Bahkan, lebih jauh
dari itu hasil penelitian tersebut menyebutkan bahwa nilai prediktif dari big five theory terhadap ideology sama
besar dengan variabel pendidikan dan pendapatan pemilih. Penelitian dari Gerber
merupakan salah satu penelitian yang menggunakan teori kepribadian big five dalam konteks perilaku pemilih
dalam pemilihan umum.
Caprara
et al (2004) juga turut melakukan
penelitian mengenai perilaku pemilih di Itali dengan menggunakan teori lima sifat kepribadian big five. Dalam artikel jurnalnya berjudul “The personalization of politics:the italian case” Caprara
mengemukakan bahwa terdapat relasi yang signifikan antara pola kepribadian
pemilih menggunakan big five dengan
kepribadian dari para kandidat yang mereka pilih dalam Pemilu. Lebih dari itu,
kesimpulan dari analisis data Caprara et
al (2004) dengan menggunakan regresi logistik menunjukkan bahwa terdapat
pengaruh dari nilai-nilai yang terepresentasi dalam lima sifat kepribadian big five,
faktor demografis, dan nilai sifat kepribadian
kandidat dengan intensi untuk memilih dalam Pemilu. Caprara et al (2004) menggunakan pengukuran lima
sifat kepribadian big five baik sebagai alat self report maupun sebagai alat rating untuk mengukur sifat kepribadian kandidat politik yang hendak
dipilih.
Penelitian
mengenai peran lima sifat kepribadian
big five dalam pemilihan umum yang paling mutakhir dilakukan
oleh Turska-Kawa (2013) pada konteks pemilihan umum di Polandia. Turska-Kawa
(2013) menggunakan pengukuran big five
untuk melakukan kategorisasi kepribadian para pemilih melalui analisis kluster.
Hasilnya menunjukkan empat kategori atau tipe pemilih di Polandia, yaitu
pemilih volatile, passive, loyal, dan unsystematic. Kategorisasi loyal hingga unsystematic menunjukkan tingkat konsistensi pemilih dari satu
periode Pemilu ke periode Pemilu berikutnya, dengan pemilih loyal berada pada salah satu ujung
kontinum yaitu mereka yang selalu menunjukkan konsistensi memilih sedangkan
pemilih unsystematic berada pada
ujung kontinum yang berlawanan. Hasil
data responden yang telah terkategorisasi lalu dianalisis oleh Turska-Kawa
(2013) dengan menggunakan analisis kluster untuk menjelaskan kepribadian
masing-masing kategori pemilih berdasarkan lima sifat kepribadian big five.
Tiga di antara lima sifat kepribadian
big five terindikasi berpengaruh terhadap
kategorisasi pemilih yang telah disusun.
Tiga dimensi dari big five tersebut
adalah neuroticism, agreeableness, dan openness to experience.
Ditulis oleh: Dr Muhammad Faisal
* Dilarang mengambil sebagian atau keseluruhan artikel tanpa izin dari penulis
Komentar