Representasi sosial


I. Tokoh pelopor
Serge Moscovici (1961/1976)
Serge Moscovici pertama kali memperkenalkan teori representasi sosial dalam psikologi sosial melalui studinya tentang appearance dan diffusion dalam lingkup psikoanalisa pada tahun 1950. Teori yang menginspirasi tesis penelitian dari Moscovici ini adalah teori dari Durkheim berjudul “representation social’(1898/1974). Moscovici secara lebih lanjut mengambil intisari dari berbagai tokoh seperti Freud, dan Piaget untuk membentuk sebuah konsepsi representasi sosial. Berikut sekilas biografi mengenai Serge Moscovici.

II. Biografi tokoh
Serge Moscovici (1925, Romania) adalah salah satu peneliti dalam bidang psikologi sosial yang paling disegani. Dia adalah pimpinan dari laboratiore europeen de psychologie sociale (laboratorium psikologi sosial) yang terletak di maison des sciences de l’homme di Paris.
Lahir di Romania pada tahun 1925 dari orang tua berkebangsaan yahudi, Moscovici mengalami pengusiran dari Bukares pada tahun 1938. Hal itu disebabkan oleh peraturan antisemit. Ia sempat menjadi tahanan di sebuah kompi tahanan Nazi selama beberapa waktu. Pada waktu terjadi perang dunia ke 2 Moscovici berjumpa dengan Isidor Goldstein (yang lebih dikenal sebagai Isidore Isou). Tokoh tersebut menginspirasikan dirinya.
Setelah perang usai, Moscovici menjadi seorang tukang las di sebuah pabrik di Bukares. Pada tahun 1947 ia meninggalkan Romania karena memiliki idealisme dan cita-cita ‘sosialis’ yang tinggi. Setahun kemudian ia tiba di Perancis setelah melewati Honggaria, Austria dan Itali. Di Paris ia dibantu secara finansial oleh sebuah subsidi untuk para pengungsi. Dengan dana tersebut ia meneruskan studinya ke salah satu universitas paling terkemuka di dunia yaitu Sorbonne. Pada tahun 1961 ia menyusun sebuah tesis mengenai representasi sosial dari psikoanalisa. Tesis tersebut dibimbing oleh seorang psikoanalis bernama Daniel Lagache. Seiring dengan penyusunan tesis yang sedang dilakukannya, Moscovici juga mengikuti kelas epistemologi dan sejarah ilmu pengetahuan bersama seorang filsuf bernama Alexandre Koyre. Pada tahun 1960 ia diundang ke Amerika oleh institute for advanced studies dari Princeton. Moscovici juga sempat bekerja di Yale dan Stanford sebelum ia kembali lagi ke tempat tinggalnya di Paris.
Fokus dari penelitian yang dilakukan oleh Moscovici adalah psikologi kelompok. Pada awal karirnya beliau meneliti bagaimana pengetahuan disusun oleh sebuah kelompok, dan dirubah dari bentuk aslinya. Sekarang teori mengenai representasi sosial dari Moscovici sangat terkemuka, terutama dalam menjelaskan proses kultural dari tersebarnya informasi di masyarakat. Moscovici sangat dipengaruhi oleh Gabriel Tarde, ia secara lebih lanjut mengkritik penelitian di Amerika yang mengatakan bahwa pendapat dari kelompok kecil dapat mempengaruhi pendapat dari kelompok besar. Moscovici juga meneliti dinamika dari proses pengambilan keputusan dalam kelompok dan bagaimana terbentuknya konsensus. Moscovici mengklaim bahwa pengaruh dari mayoritas dalam beberapa aspek dapat menyesatkan, jika mayoritas itu sendiri adalah pemilik kekuasaan. Individu secara menyeluruh akan berakhir dengan pandangan yang homogen. Sebuah pandangan yang dibentuk untuk mensuport kekuasaan. Dengan mengambil intisari dari karya Gabriel Tarde, Moscovici menekankan bahwa kebanyakan dari pergerakan social selalu diawali oleh individu atau kelompok kecil dalam masyarakat (contoh:Islam, budha, hindu, nasrani, nazi dll). Tanpa adanya sebuah kelompok minoritas yang berani berbicara maka inovasi dan perubahan sosial juga tidak akan ada. Beliau bermaksud untuk menyatukan berbagai disiplin dalam bidang psikologi sosial.
Beberapa karya yang ditulis oleh Moscovici adalah:
• la psychanalyse, son image et son public, P.U.F., 1961/1976
• Reconversion industrielle et changement sociaux. Un exemple: la chapellerie dans l’aude, Armand Colin, 1961
• L’experience du mouvement, Hermann, 1976
• Essai sur l’histoire humaine de la nature, Flammarion, 1968/1977
• La societe contre nature, Union general d’editions, 1972/Seuil, 1994
• Hommes domestiques et hommes sauvages, Union general d’editions, 1974
• Social influence and social change, Academic Press, 1976
• Psychologie des minorites actives, P.U.F., 1979
• L’age des foules: un traite historique de psychologide des masses, Fayard, 1981 (mengenai teori dari Gustave le Bon’s crowd psychology dan mengenai Gabriel Tarde)
• La machine a faire les dieux, Fayard, 1988
• Chronique des annees egarees: recit autobiographique, Stock, 1997
• Social representations: Explorations in social psychology, Politi Press, 2000
• De la nature. Pour penser l’ecologie, Metailie, 2002
• Reenchanter la nature. Entretiens avec Pascal Dibie, Aube, 2002
• Moscovici, S., Lage, E. dan Naffrenchoux, M. (1969) ‘Influences of a consistent minority onf the responses of a majority in a colour perception task, sociometry, Vol.32, pp.365-80. Cited in Cardwell, M. and Flanafan, C. (2003) ‘psychology as the complete companion’, Nelson Thornes


III. Latar Belakang perkembangan teoritis
III.1. Apa yang dipikirkan oleh Moscovici?
Representasi sosial lahir dari sebuah ketidakpuasan. Moscovici mengatakan dalam makalahnya berjudul “why a theory of social representation?”, bahwa sejak lama ia merasa psikologi sosial mengkaji fenomena-fenomena sosial yang terisolasi antara satu dengan yang lainnya. Antara satu ide dengan ide yang lain terdapat sebuah jarak, tidak terdapat sebuah unitas penjelasan dalam psikologi sosial. Hal-hal yang diteliti dalam psikologi sosial hanya merupakan tinjauan-tinjauan akademis saja. Dengan kritik dan ketidakpuasan ini Moscovici berambisi untuk menyusun sebuah teori yang berbasis pengetahuan sosial. Menurutnya proses-proses kognitif seperti memori, persepsi, pengumpulan informasi, disonansi bekerja secara bersamaan untuk membentuk pengetahuan yang kita miliki dalam konteks tertentu. Akan tetapi area penjelasan dari psikologi sosial sebetulnya lebih luas dari hal itu. Psikologi sosial juga menjangkau penjelasan mengenai nilai-nilai, standar sosial sejarah, mitos, konvensi sosial, dan simbol-simbol. Semua ini diperoleh melalui interaksi dengan lingkungan kita.
Menurut Moscovici kita dapat memperoleh pengetahuan melalui 2 cara. Yang pertama kita mengalami sendiri atau bersentuhan dengan pengetahuan itu secara langsung. Misal saja kita meminum madu, kita dapat secara langsung merasakan sensasi, dan kenikmatan dari madu tersebut. Validitas dari pengetahuan yang kita peroleh melalui cara seperti ini sangat tinggi. Adapun untuk cara yang kedua, kita memperolehnya melalui sebuah interaksi dengan individu lain. Kita memperolehnya melalui informasinya yang disebarluaskan secara umum, ”shared” di dalam sebuah masyarakat. Seperti pendapat yang mengatakan bahwa merokok dapat menyebabkan penyakit jantung, adalah sebuah pengetahuan yang diperoleh melalui konvensi masyarakat. Pengetahuan tersebut diproduksi oleh ilmuwan dalam bidang kedokteran lalu di”shared” kepada masyarakat awam, dan berubah menjadi pengetahuan dalam bentuk baru. Kita sendiri sesungguhnya tidak mengetahui dengan pasti apakah rokok itu dapat menyebabkan penyakit jantung. Karena kita tidak mengalaminya. Misalnya jika ditarik pada contoh madu diatas, kita tidak mengetahui dengan pasti kelezatan, dan kenikmatan meminum sebuah madu hanya melaui perbincangan atau diskusi mengenai madu. Ada sebuah aspek yang sangat penting dalam proses penerimaan informasi melalui cara ini yaitu ”trust” atau keyakinan. Informasi yang kita jadikan sumber pengetahuan harus kita percayai terlebih dahulu. Baru informasi tersebut dapat kita gunakan sebagai basis untuk perilaku atau diskursif.
Salah satu permasalahan mendasar dari ilmu pengetahuan adalah mengetahui bagaimana pengetahuan sosial terbentuk. Setiap cabang ilmu pengetahuan memiliki jawaban yang beragam terhadap permasalahan ini. Yang ingin diketahui secara lebih mendetil adalah bagaimana dan mengapa pengetahuan yang kita miliki terbentuk serta berubah seiring dengan waktu. Dahulu permasalahan pengetahuan sosial manusia adalah bagaimana mengubah hal-hal yang berupa mitos menjadi sebuah pemikiran yang logis. Oleh karena itu lahirlah para filsuf handal seperti aristoteles, plato dan socrates. Setelah itu muncul pemikiran yang berusaha untuk mengubah apa-apa yang logis pada tingkat abstrak menjadi sesuatu yang eksperimental dan sesuai dengan kaedah ilmiah. Hal ini menunjukkan perubahan dan variasi pengetahuan manusia pada setiap waktu dan tempat.
Lalu muncul kembali sebuah pertanyaan baru yang membutuhkan sebuah jawaban mendetil. Yaitu bagaimana pengetahuan tersirkulasi, dan tersebar di masyarakat. Bagaimana pengetahuan yang disebut dengan science berubah menjadi pengetahuan awam atau folk knowledge. Bayangkan saja, kini begitu banyak permasalahan yang dahulunya sifatnya ekslusif dimiliki oleh para ilmuwan kini sudah menjadi perbincangan sehari-hari di kalangan masyarakat awam. Jika kita melihat koran saat ini, tentu isinya sangat berbeda dengan koran beberapa tahun yang lalu. Kini anda akan dapat melihat rubrik mengenai ilmu biologi, seni, politik sampai seni. Hal ini menunjukkan bahwa hal yang menjadi sebuah diskursif di kalangan ekslusif telah meluas ke ranah awam. Terdapat sebuah contoh yang bisa saya gunakan disini untuk menjelaskan bagaimana terjadinya perubahan dan diversifikasi pengetahuan pada tingkat masyarakat awam. Dahulu berbagai istilah mengenai motivasi dan kreativitas mungkin hanya menjadi area pembahasan dari para psikolog. Bagi masyarakat awam untuk mendapatkan jawaban terhadap permasalahan tersebut kita butuh untuk datang ke seorang psikolog dan menanyakan hal tersebut kepadanya. Kini ketika kita datang ke sebuah toko buku, kita akan dapati bahwa istilah-istilah ilmiah tersebut sudah menjadi bagian dari bahasa masyarakat sehari-hari. Mereka sudah seperti tidak membutuhkan seorang psikolog untuk memecahkan permasalahan mereka. Lalu lahirlah apa yang disebut dengan ‘psikologi popular’, yaitu pengetahuan psikologi yang sudah memasuki ranah awam sehingga menjadi sesuatu yang berbeda dari psikologi yang ilmiah.
Disinilah kita dapat melihat betapa pentingnya isi dan proses dari representasi sosial. Saya akan mengutip perkataan dari Moscovici mengenai pentingnya representasi sosial dalam kehidupan manusia. Moscovici berkata:
“Tidak terdapat satupun pikiran yang bebas dari pengaruh dan pengkondisian dari sebuah representasi, bahasa dan budaya. Kita berpikir dengan menggunakan bahasa; kita mengorganisasikan pikiran, dengan berlandaskan kepada sebuah sistem yang terkondisikan, baik dengan representasi diri kita maupun dengan budaya kita sendiri. (dalam Miller, 1992)”
Moscovici memiliki sebuah anggapan bahwa representasi sosial begitu dominan dalam kehidupan manusia. Setiap pengetahuan manusia pasti beririsan dengan sebuah representasi yang terdapat di dalam masyarakat. Sedangkan perilaku manusia dipengaruhi oleh bagaimana manusia berpikir. Jadi, perilaku manusia dipengaruhi juga secara tidak langsung oleh bagaimana representasi terbentuk di sebuah masyarakat. Pengetahuan manusia yang awam, bagaimana ia bekerja dan dari mana pengetahuan itu diperoleh tidak terbentuk secara independen, akan tetapi turut dipengaruhi oleh representasi sosial.
Kita dapat melihat bahwa Moscovici sangat menekankan pentingnya epistemologi dari pengetahuan awam untuk menjelaskan berbagai permasalahan sosial. Sesuatu yang mungkin selama ini tidak begitu diperhatikan oleh para ilmuwan sosial, terutama sekali para ilmuwan di bidang psikologi. Mengapa demikian? Dalam pembahasan berikutnya akan dijelaskan mengenai sejarah perkembangan dari psikologi sosial dan kontribusinya terhadap terbentuknya teori representasi sosial.

III.2. Gambaran mengenai Psikologi sosial yang kurang “sosial”
Dahulu psikologi berdiri diatas sebuah fondasi positivistik. Sebuah pandangan yang melihat manusia secara empiris dan mekanisitik. Penelitian tentang manusia selalu dianalogikan dengan perilaku binatang. Sebagaimana Skinner yang berusaha untuk memahami proses belajar manusia dengan menggunakan tikus. Prinsip-prinsip yang digunakan dalam ilmu biologi, fisiologi dan fisika juga diterapkan dalam ilmu psikologi. Semangat pemikiran pada awal kemunculan psikologi sangat positivistik. Apa yang disebut sebagai realitas adalah sesuatu yang terukur dan terobservasi. Lambat laun perkembangan pemikiran ini melahirkan aliran terkuat dalam bidang psikologi yaitu aliran behavioris. Dimana fokus penelitiannya hanya pada perilaku yang terkalkulasi dengan statistik. Kajian-kajian mengenai manusia dilakukan di dalam laboratorium eksperimen. Hasil data dianalisa menggunakan metode statistik untuk melihat hubungan antara satu variabel dengan variabel lain.
Kecenderungan dari teori-teori psikologi sosial saat itu kurang mendalami permasalahan-permasalahan yang sifatnya benar-benar sosial. Pertanyaan-pertanyaan seperti bagaimana atribusi sosial berperan dalam kehidupan sehari-hari? Bagaimana atribusi dapat dipelajari secara psikologis? Bagaimana diskursif tentang rasisme berkembang di dalam lingkup sosial? Bagaimana perkembangan dari konstruksi sosial? bagaimana pengetahuan sosial terbentuk? apa yang kita ketahui mengenai pengetahuan sehari-hari yang tersirkulasi dalam sistem sosial? Konsep psikologi yang mana yang dapat menjelaskan bagaimana sebuah ideologi bekerja? Dll belum terjawab secara komprehensif.
Psikologi sosial mendapat kritik yang tajam. Psikologi dianggap terlalu memperhatikan aspek pemrosesan informasi dari individu dan bagaimana pengaruh-pengaruh sosial mengganggu atau menghambat proses tersebut. Hal-hal yang krusial dalam masalah sosial tidak terjangkau oleh para psikolog sosial. Psikologi sosial meneliti perilaku sosial pada taraf individu. Yang disebut dengan sosial adalah kumpulan interaksi antara individu dengan individu yang lain. Psikologi sosial dapat dikatakan kehilangan makna “sosial”nya. Dominasi aliran pemikiran adalah paradigma individualistik, dimana proses dan dinamika sosial direduksi dengan penjelasan mengenai perilaku individu.
Pada tahun 1930 terjadi sebuah krisis dalam bidang psikologi sosial. Krisis itu bermula dari artikel yang ditulis oleh Gergen. Dimana dia mendeskripsikan psikologi sosial saat itu sebagai kajian sejarah jika dibandingkan dengan kajian natural science. Menurutnya kajian dalam bidang psikologi secara konstan, dan pasti, akan berubah dalam derajat tertentu. Adalah mustahil bagi para psikolog untuk merumuskan sebuah teori yang dapat diterima secara utuh, tanpa terikat konteks atau situasi historis. Mengapa demikian? Gergen menjelaskan bahwa semua dipengaruhi oleh bagaimana pengetahuan psikologi masuk dalam ranah diskusi awam masyarakat. Masuknya hal tersebut ke dalam sirkulasi diskusi masyarakat pada akhirnya menciptakan sebuah folk knowledge (pengetahuan awam), folk knowledge ini lambat laun mempengaruhi bagaimana individu bertindak. Ketika terjadi perubahan dalam bagaimana individu bertindak dan berperilaku, hukum-hukum yang sudah dirumuskan sebelumnya tentu sudah tidak berlaku lagi.
Dalam perjalanan bidang psikologi sosial, sempat pula muncul kritik-kritik yang mengatakan bahwa penelitian psikologi sosial kurang sensitif dengan konteks penelitiannya. Selain itu, psikologi sosial juga dikatakan kurang berinteraksi dengan teori-teori diluar lingkup psikologi seperti symbolic interactionism. Pada tahun 1970 sampai 1980an terjadi pergerakan yang signifikan dalam bidang kajian psikologi kognitif. Fokus dari bidang psikologi yang pada awalnya lebih bersifat observasi terhadap gejala, berubah menjadi kajian terhadap kognisi dari individu dan proses yang terjadi di dalamnya. Embrio dari hasil kajian terhadap kognisi ini adalah lahirnya social cognition (kognisi sosial), salah satu cabang dari social psychology. Melalui social cognition lahir beberapa konsep mutakhir yang masih digunakan hingga kini, yaitu konsep diri, atribusi, stereotypi dll. Menurut Graummann (Dalam Smith, Harre dan Langenhove, 1995), perubahan dalam bidang kajian psikologi sosial ini telah membawa nuansa kognitivism ke dalam ranah psikologi sosial. Kognitivisme yang digunakan bukan sekedar berbicara mengani pemrosesan informasi (information processing) akan tetapi lebih berusaha untuk mengetahui mengenai konten dari kognisi individu. Hal ini juga berdampak buruk terhadap psikologi sosial dimana nuansa individualisme muncul dalam kajian-kajian psikologi sosial. Terdapat sebuah gap yang jauh antara individu dengan realitas sosial. Hal-hal yang essensial seperti ‘sosialitas dari eksistensi manusia’, diabaikan dan diberikan sebagai tugas untuk ilmu-ilmu sosial yang lain. Pentingnya perilaku komunikasi serta interaksi terhadap aksi sosial dan pentingnya aksi sosial terhadap pengetahuan juga proses berpikir individu telah diabaikan. The big –social- question atau pertanyaan terpenting dari bidang psikologi sosial telah ditinggalkan karena munculnya bidang kognisi sosial serta dominasinya.
Peralihan fokus kajian juga terjadi di Inggris dan Amerika. Di Inggris, penelitian dalam bidang psikologi beralih dari dari bentuk eksperimen menjadi analisa diskursif, dan perbincangan. Di Amerika Gergen dengan konsep konstruksi sosial juga telah tertarik kepada prinsip-prinsip linguistik. Pada masa itu pengetahuan tidak lagi dianggap terletak di dalam kepala manusia akan tetapi sebagai sesuatu yang diobservasi pada saat aktivitas sehari-hari (Gergen,1985). Memori tidak lagi dimengerti dan dianalisa sebagai proses individual atau sebagai proses retreival dalam information processing theory, akan tetapi dipandang sebagai proses sosial dan kolektif. Semangat inilah yang pada akhirnya melahirkan bidang kajian mengenai representasi sosial. Dimana proses sirkulasi dari informasi tidak dilepas dari konteks sosial, dan tidak terlepas pula dari bagaimana informasi tersebut disebarluaskan, gejala dilihat dan didekati secara lebih sosial dari sebelumnya. Terjadi pula peleburan dan interaksi antara ilmu psikologi dengan sosiologi. Penelitian juga tidak terbatas hanya di laboratorium saja, dan observasi tidak dilihat hanya kepada individu semata. Akan tetapi gejala dilihat secara menyeluruh dalam situasi sosial. Untuk menutup pembahasan mengenai hal ini saya akan mengutip sebuah perkataan dari Michael Billig (dalam Deaux & Philogene, 2001), dimana beliau mengatakan;
“Salah satu hal penting dalam perkembangan psikologi sosial di eropa adalah kemunculan dari konsep “representasi sosial”. Kemunculan sebuah konsep baru tidak selalu identik dengan kemunculan ide dan formulasi baru. Terkadang di dalam psikologi sosial sebuah konsep dikreasikan untuk mendeskripsikan hal-hal yang baru dalam prosedur eksperimental, dan terkadang terhadap pretensi ilmiah, untuk sebuah kebenaran yang sudah diketahui. Akan tetapi, di lain pihak apa yang disebut sebagai konsep representasi sosial adalah sebuh ambisi intelektual dari para pendukungnya. Mereka (para pengikut aliran representasi sosial) telah mendeklaraasikan sebuah revolusi intelektual yang menggerakkan psikologi dari akarnya yang cenderung individual menjadi mengikuti tradisi ilmu sosial di eropa. Serge Moscovici, yang merupakan seorang pengikut Marxis dan Lenin, telah melakukan sebuah orientasi ulang terhadap psikologi sosial seputar permasalahan representasi sosial. Revolusi ini, jika berhasil, akan mempengaruhi baik psikologi sosial yang murni maupun yang terapan. Bahkan, seluruh cabang ilmu psikologi akan menjadi lebih terapan, dengan kata lain kajian-kajiannya akan bergeser dari lingkup laboratorium, dimana berusaha untuk memisahkan variabel dari abstrak menjadi lebih sosial, dimana belief yang secara sosial dimiliki bersama, atau representasi sosial, terdapat dalam konteks sosial yang sesungguhnya.”

IV. Konsep sentral dari Representasi sosial
IV.1. Representasi sosial sebagai teori dasar untuk Psikologi Sosial
Dari kajian-kajian yang meneliti gejala pada taraf kognisi individual, kini akhirnya psikologi sosial menaruh perhatian khusus terhadap proses sosial. Representasi sosial adalah salah satu teori yang menyambut kembalinya kajian psikologi sosial ke ranah yang tepat, atau ke ranah yang lebih ‘sosial’ dari sebelumnya. Moscovici dalam teorinya, mengatakan bahwa knowledge (baik yang sifatnya teoritis maupun empiris) adalah hasil dari konteks lokal, sosial, kultural, dan historikal. Nuansa Vygotsky dapat kita rasakan dalam teori dari Moscovici ini.
Representasi sosial secara lebih lanjut dikatakan sebagai pengetahuan spesifik dalam modern society. Pengetahuan ini dipengaruhi oleh science sebagai sumber utama pengetahuan sehari-hari. Jadi knowledge tidak tereduksi maknanya sebagai sekedar proses kognitif sebagaimana dijelaskan dalam information processing theory, dan knowledge bukan hanya menjadi bagian kajian dari bidang psikologi kognitif. Akan tetapi, knowledge selayaknya dipahami sebagai hasil dan sebagai obyek dari proses interaktif.
Moscovici (dalam Hati, 2005) mendefinisikan representasi sosial sebagai suatu konsep, pernyataan dan penjelasan yang berasal dari kehidupan sehari-hari mengenai lingkungannya. Perlu ditekankan bahwa representasi sosial tidak identik dengan representasi individual (Moscovici dalam Hati, 2005). Mengapa? Karena di dalamnya terlibat berbagai macam agen sosial yang secara aktif ikut merepresentasikan sesuai dengan pengalaman dan wawasannya (Jodelet dalam Hati, 2005).
“Representasi sosial mengakar kepada diversitas dari individu, sikap dan fenomena. Hal ini meliputi keanehan dan keserbakemungkinan yang terdapat di dalamnya. Tujuannya adalah untuk menemukan bagaimana individu dan kelompok dapat mengkonstruk sebuah dunia yang stabil, dapat diprediksi dan memiliki diversitas. (Moscovici dalam Hati, 2005)”

Representasi sosial memiliki suatu proses dalam memahami suatu obyek, lalu mengkomunikasikannya kepada individu-individu lain. Dalam proses representasi sosial ada sebuah informasi yang disebarkan (shared), pengetahuan ini menjadi sebuah pengetahuan sosial. Pengetahuan sosial disini tentu berbeda dengan pengetahuan individual. Sebut saja penggunaan istilah ‘reformasi’ dalam lingkungan para mahasiswa pasti memiliki sebuah makna yang khusus, yang melibatkan berbagai pergerakan dan perjuangan untuk merubah sebuah orde pemerintahan yang tidak adil. Di kalangan politisi kata ‘reformasi’ memiliki makna yang berbeda pula, ia lebih melibatkan perubahan kebijakan atau struktur dari instansi pemerintah. Sedangkan di masyarakat awam sebut saja para supir bus, makna reformasi memiliki makna yang berbeda lagi. Ia lebih menggambarkan sebuah peristiwa monumental yang terjadi pada bulan mei tahun 1998. Moscovici (Dalam …) secara lebih detil mendefinisikan representasi sosial sebagai:
“Sebuah sistem nilai, ide dan praktik dengan 2 fungsi utama: pertama, untuk membentuk keteraturan yang membantu manusia mengarahkan serta menguasai diri mereka dalam dunia material dan sosial. Kedua, agar membantu agar komunikasi terjadi diantara anggota dari sebuah komunitas dengan menyediakan kepada mereka sebuah kode untuk pertukaran sosial, serta menamai dan mengklasifikasikan secara ambigu berbagai macam aspek dari dunia, individu, dan sejarah kelompok (Moscovici, 1973)”

Dari definisi ini kita dapat mengambil 2 hal. Yang pertama, adalah bahwa representasi sosial berfungsi untuk menciptakan sebuah keberaturan dan arah bagi individu. Hal itu dapat dilakukan dengan cara menguasai informasi yang datang kepada mereka. Yang kedua, dengan adanya representasi sosial individu dapat berbagi informasi dan pengetahuan dengan sarana dan bahasa yang sama. Sehingga pengetahuan menjadi tersirkulasi dengan baik. Hal ini menjadi sesuatu yang innate pada manusia, yaitu untuk dapat mempermudah pemahamannya terhadap dunia. Karena manusia memiliki keterbatasan dalam memproses dan memahami dunia material dan sosial yang sangat kompleks. Ketidakmampuannya ini mendorong dirinya untuk menyusun berbagai macam metode dan strategi untuk mengatasi masalah tersebut. Karena jika tidak manusia tidak akan menemukan makna dan identitas dirinya.
Mengapa manusia membutuhkan dan melakukan sebuah proses representasi sosial? Moscovici (dalam Duveen, 2001) mengatakan “tujuan utama dari semua representasi adalah untuk mengubah apa-apa yang asing atau unfamiliar, menjadi dikenali atau familiar. Manusia hidup di sebuah lingkungan yang kompleks. Dimana persebaran informasi terkadang menggoncangkan keyakinan dan pandangan dunia yang sudah kita anut. Media sangat berperan dalam persebaran informasi, apa yang dianggap realita, apa yang dianggap salah dan benar, ilmiah atau non-ilmiah semua tersebar dan bercampur sebagaimana garam dan air larut di lautan. Dalam menghadapi hal ini manusia berusaha untuk merespon sedemikian rupa sehingga informasi yang ada tidak terlalu menyeramkan baginya, tidak terlalu kompleks, dan juga tidak terlalu asing. Perilaku representasi adalah sebuah cara untuk merubah apa-apa yang menggangu dunia kita, dari luar kedalam, dari jauh menjadi dekat (Moscovici dalam Duveen, 2001). Proses ini terjadi dengan menseparasi apa-apa yang secara normal saling berkaitan dan meletakkannya dalam sebuah konteks dimana yang tidak biasa menjadi sesuatu yang biasa-biasa saja. Dalam menjelaskan hal ini saya teringat kisah-kisah para wali songo dalam menyebarkan ajaran islam di Indonesia. Nilai-nilai dan hukum Islam sangat berbeda dengan ajaran animisme dan hindu yang sudah ada terlebih dahulu di Indonesia. Ideologi baru ini merupakan sebuah ancaman bagi keyakinan dan paradigma masyarakat saat itu. Islam adalah sesuatu yang unfamiliar. Untuk dapat mendobrak batasan tersebut para walisongo seperti sunan Kalijaga berusaha untuk merubah yang unfamiliar menjadi familiar. Salah satunya dengan meleburkan antara anjaran Islam dengan kesenian budaya setempat yaitu wayang. Pada akhirnya terjadi sebuah diskursi yang dahsyat mengenai Islam di Indonesia, hingga kini Indonesia menjadi salah satu negara dengan penganut agama Islam terbanyak di dunia.
Seorang Filsuf Perancis Gaston Bechelard mengatakan bahwa dunia dimana kita berdiam dengan dunia yang berada di kepala kita adalah dua hal yang berbeda. Pengetahuan yang terdapat di dalam kepala kita kini kemungkinan besar memiliki jarak yang cukup dengan realitas dunia. Mengapa? Karena selama ini representasi yang terdapat di kepala kita berasal dari science, teori, sejarah, media dan sumber-sumber lain yang selalu mengalami perubahan dan elaborasi. Science atau ilmu pengetahuan alam secara lebih spesifik kini menjadi sebuah bagian dari pengetahuan umum masyarakat. Terdapat sebuah pernyataan yang cukup unik dari Moscovici (Dalam Duveen, 2001) dimana dikatakan “dahulu ilmu pengetahuan berasal dari commonsence atau dengan kata lain ilmu pengetahuan adalah commonsense yang tidak terlalu common. Akan tetapi kini yang terjadi adalah sebaliknya, commonsense adalah sebuah ilmu pengetahuan yang dibuat common”. Hal ini menunjukkan bahwa informasi di tingkat masyarakat sudah begitu kompleks. Kompleks dalam makna bahwa apa-apa yang tadinya ilmiah ketika memasuki ranah awam mengalami proses blenderisasi, sebagaimana buah-rasa, bentuk, warna, dan khasiat yang berbeda, namun sumbernya tetap sama.
Sesungguhnya apa yang dimaksud dengan istilah ‘representasi’? Jovchelovitch (dalam Bauee & George Gaskell, 1999) mengatakan bahwa representasi adalah jembatan antara individu dengan masyarakat. Representasi adalah sesuatu yang berada diantara keduanya, sebuah media yang menghubungkan obyek, antara subyek dengan aktivitas. Representasi dikatakan tertanam di dalam komunikasi dan benak manusia, lalu ia dikomunikasikan atau disebarluaskan sebagaimana bahasa tersebar di masyarakat. Secara formal social representation dapat dikarakteristikan sebagai relasi antara 3 elemen:
• Subyek, atau pembawa representasi tersebut (s).
• Obyek yang dijadikan representasi, entitas konkrit atau ide abstrak (o).
• Sebuah proyek, sebuah konteks pragmatis dari kelompok sosial dari kelompok sosial dimana sebuah representasi sosial menjadi masuk akal.
Antara subyek subyek, obyek, dan proyek membentuk sistem mutual diantara ketiganya. Yang ketiga yaitu ‘proyek’ menjadi penghubung antara yang kedua.
Dalam sebuah proses representasi sosial terjadi peleburan nilai simbolis, terjadi pula penghubungan antara obyek dengan subyek (Jodelet dalam Hati, 2005). Tujuan utama dari proses representasi sosial adalam mengubah informasi yang unfamiliar menjadi familiar. Proses yang digunakan untuk mencapai hal tersebut adalah anchoring dan objectification (Moscovici, dalam Smith, Harre & Langenhove, 1995).
1. Anchoring
Anchoring adalah sebuah proses perubahan obyek sosial, peristiwa dan tindakan yang awalnya tidak dikenali kemudian menjadi bentuk yang lebih dikenali. Jadi, berbagai benda, pengalaman, relasi, dan praktek diubah sesuai dengan worldview dan kategori yang sudah ada dengan menghapus berbagai hal yang asing dan menakutkan (Moscovici dalam Smith, Harre & Langenhove, 1995). Yang menjadi titik referensi dalam proses ini adalah kategori-kategori yang sudah terlebih dahulu ada, dimana fenomena terintegrasi ke dalam kategori tersebut. Lalu, antara fenomena yang sudah terkategorisasi dengan kategori yang lain terjadi proses pembandingan. Dengan kata lain proses ini disebut dengan generalizing dan particularizing. Moscovici secara detil mengatakan:
“…(a) sesudah diberi nama, individu atau benda dapat dideskripsikan dan memperoleh karakteristik dan tendensi tertentu dll. (b) dia atau hal itu dibedakan dengan individu atau benda lain melalui karakteristik dan tendensi tersebut, dan (c) dia atau hal itu menjadi obyek dari konvensi antara yang mengadopsi dan yang menyebarkan (share) konvensi yang sama”

Ketika terjadi proses konvensialisasi dari pengalaman atau terbentuknya pengetahuan melaui social sharing (pembagian secara sosial) maka proses anchoring dalam representasi sosial menjadi unik. Karena ia melampaui konsepsi yang telah ada mengenai klasifikasi dan tipifikasi, terutama sekali yang terdapat pada teori-teori kognitif. Yang perlu ditekankan disini adalah bahwa anchoring tidak dilihat sebagai sebuah proses yang universal, dimana hasilnya akan valid untuk semua individu di setiap tempat dan waktu, dan bukan pula sebagai sebuah proses individual. Perbedaan ini tegas disampaikan oleh Billig (Dalam Smith, Harre dan Langenhove, 1995) dimana dikatakan bahwa:
“Bagaimanapun terdapat sebuah perbedaan yagn krusial antara pendekatan kognitif dengan representasi sosial: para psikolog dalam bidang psikologi sosial cenderung untuk melihat kategorisasi dalam terma fungsi individual. Dan di lain pihak teori dalam bidang representasi sosial memeriksa fungsi sosial dari Anchoring. Apa yang sesungguhnya direpresentasikan sebagai obyek sosial. Selain itu, anchoring menarik individu ke dalam tradisi kultural kelompok, sedangkan pada saat yang bersamaan mengembangkan tradisi tersebut. Dengan cara demikian representasi menjadi berakar dalam kehidupan kelompok.”

Bagi Moscovici tidak ada persepsi dan berpikir tanpa anchoring. Tujuan utama dari klasifikasi dan penamaan tersebut adalah untuk memfasilitasi interpretasi terhadap karakteristik dan pemahaman mengenai intensi dibalik perilaku manusia.
2. Objectification
Proses obyektifikasi lebih aktif jika dibandingkan dengan anchoring. Billig (dalam Smith, Harre dan Langenhove, 1995) mengatakan bahwa obyektifikasi adalah proses perpindahan dari teori ilmiah ke dalam diskursif sehari-hari. Moscovici menjelaskan secara lebih rinci mengenai tahap-tahap dari proses ini. Pertama sebuah ide atau obyek ditemukan dan dibentuk dalam sebuah image. Lalu konsep yang sudah dalam bentuk image tersebut menjadi terintegrasi atau berhubungan dengan pola nukleus figuratif. Yaitu sebuah images yang mensimbolisasikan ide yang kompleks. Istilah Ego dalam bidang psikonalisa bermakna sebagai sebuah komponen dari kesadaran yang bertugas menjaga kestabilan antara superego dengan id. Akan tetapi dapat kita temukan bahwa dalam kehidupan sehari-hari istilah ego memiliki makna yang berbeda. Dalam lagu-lagu cinta kita dapat menemukan makna ego sebagai egois. Dalam beberapa diskursi yang lain kita dapat menemukan makna ego sebagai harga diri. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan istilah ego yang dalam diskursi ilmiah memiliki makna tertentu, atau telah mengalami perubahan yang signifikan ketika memasuki ranah sirkulasi informasi di masyarakat.
Komponen utama dari proses obyektifikasi secara umum adalah menseleksi dan mendekontekstualisasi elemen-elemen dari sebuah teori. Atau dengan kata lain, membentuk sebuah nukleus figuratif dan naturalisasi dari elemen-elemennya (Jodelet dalam Smith, Harre & Langenhove, 1995). Implikasi dari proses ini ada 2. Yang pertama adalah apa-apa yang dahulunya abstrak dalam sebuah teori ilmiah diubah menjadi sesuatu yang konkrit. Moscovici (dalam Smith, Harre & Langenhove, 1995) mengatakan secara lebih khusus bahwa apa-apa yang dipikirkan atau dikonsepsikan secara mental berubah menjadi sesuatu yang dipersepsi.Yang kedua, adalah ketika konsepsi mental tersebut sudah memasuki area pengetahuan sehari-hari, maka berbagai contoh dan aplikasi dari konsepsi mental tersebut akan dapat kita temukan dengan mudah. Von Cranach (dalam Hati, 2005) mengatakan bahwa representasi sosial itu lebih kuat dalam mempengaruhi representasi individu melalui sosialisasi dan kontrol sosial, tetapi individupun bisa mempengaruhi suatu kelompok sosial melalui perubahan sosial dan tindakan-tindakan mereka sendiri. Dibawah ini diberikan sebuah contoh pola bagaimana sebuah pengetahuan disirkulasikan dan mengalami perubahan makna.








iid
Penambahan obyek sosial kpd
Dunia kelompok



Mendorong
Identitas sosial
kelompok




Gambar.1. Skema yg menggambarkan sosiogenesis dari representasi sosial. Oleh Duveen (1999)
Beberapa poin penting dalam tulisan Moscovici (1987):
1. Representasi sosial secara partial abstrak dan secara parsial pictorial.
2. Mampu untuk menggabungkan dunia yang tidak familiar dengan individu, dan secara lebih lanjut memperbaiki batasan dari kapasitas psikologis dari kelompok.
3. Individu menggunakan social representation untuk memahami yang tidak familiar melalui anchoring dan objectification.
4. Anchoring: menghubungkan sebuah obyek dengan kasus prototipe yang terinkorporasi dalam representasi sosial.
5. Objectification: ketika sebuah obyek telah dianchored sebuah gambaran gabungan dengan prototipe terbentuk.
6. Objectification menentukan bagaimana seorang individu akan melihat dunia
7. Melalui representasi sosial hal-hal yang dialami di masa lalu mempengaruhi masa kini.
8. Realitas untuk kita ditentukan oleh representasi sosial.
9. Ilmuwan sosial harus menghindari analisanya dari sesuatu yang abstrak dan lebih mencoba menemukan sesuatu yang sesuai dengan konsensus.

IV.b. Fungsi dari Representasi sosial
Menurut Moscovici alasan utama mengapa individu membentuk representasi sosial adalah untuk mengubah yang asing menjadi tidak asing “the unfamiliar into familiar’. Berdasarkan berbagai observasi, ditemukan bahwa individu dan komunitas resistan terhadap masuknya informasi atau nilai-nilai yang asing baginya. Berbagai moral, ide dan bahasa pada awalnya dianggap tidak memiliki dasar, dan juga tidak familiar. Akan tetapi individu mau atau tidak mau harus berinteraksi terhadap individu lain, obyek, dan perilaku yang baru. Dimana mereka juga harus melakukan representasi terhadap hal-hal tersebut. Hal ini mendorong individu untuk merubah yang tidak familiar menjadi sesuatu yang familiar, yang esoteric menjadi customary agar merasa mudah dengan hal tersebut.
Moscovici dan Hewstone menjelaskan bahwa representasi sosial adalah dasar dari penjelasan atribusi kausal manusia (dalam Smith, Harre, Langenhove 1995). Hal ini juga merupakan salah satu fungsi dari representasi sosial bagi individu. Dimana proses atribusi terhadap sebuah gejala sangat bergantung terhadap bagaimana individu merepresentasikan gejala tersebut.

“Teori tentang kausalitas sosial adalah sebuah teori mengenai atribusi yang berkaitan dengan representasi sosial….setiap penjelasan kausal harus dilihat dari segi konteks dari representasi sosial dan ditentukan melaluinya” (Moscovici 1981 dalam Smith, Harre, Langenhove, 1995).

Representasi sosial membentuk fondasi dari harapan-harapan dan syarat-syarat normatif yang berlaku sebagai mediasi dalam proses atribusi (Hewstone 1989, dalam Smith, Harre, Langenhove, 1995). Karena reprensentasi sosial adalah sesuatu yang di”shared” (disebarluaskan) dalam sebuah komunitas dan masyarakat tertentu, maka proses atribusi terhadap sebuah gejala akan mengacu kepada representasi yang terdapat dalam masyarakat tersebut. Sebagai contoh peristiwa 9/11 adalah sebuah peristiwa yang dapat diinterpretasi melalui berbagai sudut pandang. Ia dapat dilihat sebagai sebuah produk dari terorisme yang digarap oleh ideologi dan fundametalisme dunia timur. Akan tetapi ia juga dapat dilihat sebagai sebuah produk dari kebijakan-kebijakan luar negeri Amerika. Bagaimana masyarakat Amerika melakukan atribusi terhadap kejadian tersebut? Jawabannya sangat bergantung terhadap bagaimana bentuk representasi sosial yang beredar di masyarakat. Jika para tokoh-tokoh politik dan media mengisyaratkan bahwa kejadian 9/11 adalah hasil dari ideologi timur yang menghalalkan kekerasan maka masyarakat akan mengatribusikan sesuai dengan hal itu. Disini dapat kita lihat pentingnya diskursif yang terjadi baik pada level para ahli atau para ilmuwan terhadap pengetahuan yang akan dimiliki oleh masyarakat awam. Representasi sosial memberikan sebuah eksplanasi yang sifatnya otomatis. Berbagai penyebab yang ditemukan, dicari penjelasannya melalui sebuah analisa. Tanpa perlu berpikir panjang eksplanasi dari individu sesungguhnya ditentukan oleh representasi sosial (Hewstone 1989 dalam Smith, Harre, Langenhove, 1995).


VI. Metodologi dalam representasi sosial
Setelah memahami seluk beluk dari teori representasi sosial sekarang tiba saatnya untuk mengetahui bagaimana representasi sosial itu sendiri diaplikasikan dalam sebuah penelitian psikologi. Setelah Moscovici pertama kali meletakan batu fondasi dari teori representasi sosial, teori ini menarik minat begitu banyak pengikut. Para pengikut inilah yang pada akhirnya mampu untuk mengubah teori representasi sosial dari tingkat abstrak ke dalam aplikasi.
Salah satu karakteristik utama dari teori representasi sosial adalah kemampuannya untuk menjelaskan perilaku sosial dari konteks dimana perilaku tersebut diambil. Namun hal itu juga menimbulkan sebuah permasalahan tersendiri. Mengapa? Karena konteks itu tidak dapat direplikasi dalam sebuah situasi eksperimen. Gejala harus didekati dan diukur sebagaimana adanya. Oleh karena itu, representasi sosial lebih dilihat sebagai sebuah pendekatan. Ia memberi sebuah kerangka dalam memahami sebuah fenomena, akan tetapi bagaimana fenomena itu diteliti atau diukur, teori representasi sosial tidak memberi sebuah penjelasan yang tegas, atau instruksi yang detil tentang hal tersebut.
Para peneliti dalam bidang representasi sosial melihat kepada aksi dan pembicaraan yang berkaitan dengan sebuah fenomena dan obyek. Hal ini berbeda dengan pendekatan yang terdapat dalam teori-teori kognisi sosial dimana gejala dilihat berdasar bagaimana individu merelasikan dirinya terhadap gejala tersebut. Pembicaraan sehari-hari adalah salah satu elemen penting dalam representasi sosial. Seperti sudah dibicarakan sebelumnya pembicaraan sehari-hari adalah tempat terbentuknya folk knowledge yang disebarluaskan. Dalam pembicaraan atau perbincangan individu memberi atribut dan makna terhadap obyek, hal itu secara lanjut membuat obyek itu menjadi bagian dari dunia sosial. Mengapa hal ini penting untuk diketahui? Karena perilaku dan aksi individu bermula dan dikoordinasi oleh konsepsi bersama mengenai dunia. Pandangan yang dibentuk oleh sebuah kelompok mengenai sebuah obyek sosial adalah spesifik, Ia dapat berbeda dari satu kelompok ke kelompok lain.
Dalam kaitannya dengan kekhasan dari metodologi dari teori representasi sosial Moscovici mengatakan:
“Dibentuk di luar lingkup American social psychology yang telah mendominasi gaya ilmiah dari banyak psikolog sosial. Dia adalah produk langsung dari tradisi klasik, dimana teori adalah sekaligus sebuah pendekatan, sebuah cara untuk memahami fenomena sosial, dan sebuah sistem yang mendeskripsikan dan menjelaskan hal tersebut.”(Moscovici, 1998, p.212-213 dalam Malik)
Poin terpenting dari penjelasan Moscovici diatas adalah bahwa hubungan antara teori yang kita gunakan sebagai pendekatan, untuk sebuah fenomena dengan metode yang kita gunakan untuk mendeskripsikan hal tersebut sangat terkait atau sifatnya interdependen (dalam Malik). Hal seperti ini memang sedikit ambigu, dan tidak seperti teori-teori psikologi sosial klasik pada umumnya. Pada teori psikologi klasik kita dapat membuat sebuah dikotomi yang jelas antara teori dengan metode. Teori menjelaskan fenomena pada tingkat abstraksi, sedangkan dalam proses penelitian metodologi mengikuti kaedah-kaedah yang sudah ada dalam lingkup ilmiah. Valsiner dan Vander Veer (2000) mengatakan bahwa hubungan yang interdependen antara teori dengan metode memiliki posisi yang sangat penting dalam pendekatan dari Moscovici. Dan terkadang hal itu sulit dimengerti atau sifatnya terlalu luas dari teori kontemporer psikologi yang menekankan separasi antara teori dengan metode. Dalam psikologi sosial klasik dan mainstream kita dapat menemukan bahwa penelitian pada umumnya digunakan untuk melihat kausalitas. Biasanya berupa hubungan atau pengaruh antara sebuah variabel independen dengan variabel dependen. Sedangkan dalam teori representasi sosial penekanan terdapat pada pentingnya diversitas dari pengalaman individu serta bagaimana pengalaman-pengalaman tersebut diatur dan dipahami dalam pandangan dunia yang stabil dan dapat melakukan prediksi. Dalam kaitannya dengan hal ini moscovici mengatakan:
“[teori representasi sosial] mengambil titik awalnya dari diversitas individu, sikap dan fenomena, dalam semua keanehan dan ketidakberaturan. Tujuannya adalah untuk menemukan bagaimana individu dan kelompok membentuk sebuah dunia yang stabil dan predictable dari sebuah diversitas. (Moscovici, 1984; p.44 dalam Malik)”
Dalam Kaitan dengan penggunaan teori representasi sosial dalam berbagai penelitian kita bisa dapati bahwa teori representasi sosial telah diterapkan dengan berbagai metode. Hal tersebut dapat kita temukan dalam buku dari Doise dan Philogene (2001) dimana didalamnya terdapat beberapa penelitian antara lain, hubungan antara representasi sosial dengan konstruksi sosial, hubungan representasi sosial identifikasi individu, serta representasi sosial dengan kategori sosial.

IV. Kritik terhadap representasi sosial
Tidak ada gading yang tak retak, itulah perumpamaan yang dapat digunakan untuk teori representasi sosial ini. Orisinalitasnya dan gebrakannya yang luarbiasa tetap membawa kritik yang pedas dari beberapa kalangan. Terdapat 2 jenis kritik yang ditujukan kepada teori representasi sosial. Yang pertama dikatakan bahwa representasi sosial sebagai sebuah teori yang ‘eropa’ atau sebuah teori ‘Perancis’. Yang kedua, bahwa teori ini tidak eksperimental dan juga tidak prediktif. Moscovici menjawab pertanyaan pertama dengan mengatakan bahwa ilmu pengetahuan tidak bisa disekat-sekat dengan batasan tempat, ras, atau kebangsaan. Hal itu tidak mempengaruhi keilmiahan atau keabsahan sebuah teori. Dalam menanggapi kritik yang kedua Moscovici mengatakan bahwa dalam ilmu pengetahuan terdapat beberapa variasi. Misalnya saja terdapat sebuah teori yang melakukan eksplanasi dan prediksi sebagaimana teori kuantum, akan tetapi terdapat pula teori yang melakukan ekplanasi tanpa adanya prediksi, sebagaimana teori mengenai seleksi alam. Psikologi sosial pada perkembangannya mengarah kepada jenis ilmu pengetahuan yang melakukan eksplanasi tanpa prediksi. Walaupun teori dari representasi sosial terkesan memiliki kekurangan di sana-sini, peminat terhadap aliran dan pemikiran ini tetap banyak. Mengapa demikian? Moscovici menjawab bahwa para peneliti-peneliti itu tidak memiliki alternatif yang lain untuk menjelaskan berbagai permasalahan sosial yang kompleks. Permasalahan sosial yang kompleks ini tentu saja tidak dapat dengan beberapa premis saja dilakukan prediksi terhadapnya. Selain itu teori representasi sosial memberikan sebuah jenis jawaban yang baru, dan mudah untuk dipahami oleh semua kalangan akademisi. Teori ini sangat fleksibel dan tidak terlalu menuntut persyaratan-persyaratan metodologis dari penggunanya.
Moscovici sendiri menyatakan keterkejutannya oleh kemampuan teori representasi sosial untuk dapat meleburkan psikologi sosial dengan cabang ilmu pengetahuan yang lain. Teori ini juga dikatakan dapat menyesuaikan diri dengan berbagai tradisi, membuka diri terhadap berbagai pandangan dan tidak menutup diri terhadapnya. Beberapa contoh dari hal tersebut dapat kita lihat pada penjelasan berikutnya, mengenai perkembangan representasi sosial dalam bidang psikologi.
V. Perkembangan representasi sosial dalam bidang psikologi
Representasi sosial telah berkembang sedemikian rupa dalam bidang psikologi sehingga penggunaanya melibatkan berbagai macam bidang. Perluasannya beririsan dengan area-area yang sebelumnya belum pernah dijamah oleh ilmu psikologi. Salah satu penelitian yang bisa dijadikan contoh menarik mengenai representasi sosial dapat dilihat dalam penelitian dari Liu, Lawrence dan Ward (2001) berjudul “social representasion of history in Malaysia and Singapore: On the relationship between National and Ethnic Identity”. Dalam penelitian ini kita dapat melihat Bagaimana representasi sosial mengenai sejarah terbentuk. Sejarah yang selama ini lebih merupakan sebuah produk hegemoni dibedah dengan menggunakan sudut pandang representasi sosial. Penelitian ini menggunakan kuesioner sebagai alat ukurnya. Beberapa temuan dari penelitian ini adalah bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara identitas sosial dengan identitas etnis. Terdapat kecenderungan yang kuat terhadap identitas etnik di malaysia, dimana hal tersebut lebih kuat pada orang suku malay sendiri. Sedangkan mereka yang bersuku Cina lebih memiliki pandangan atau identitas nasionalis. Hal ini ditemukan baik di Malaysia maupun di Singapore. Hasil-hasil ini sangat terkait dengan bagaimana sejarah dibentuk melalui representasi dari golongan yang dominan.
Liu dan rekan-rekannya (dalam Liu, Lawrence dan Ward, 2001) secara khusus mengatakan bahwa representasi sosial dari sejarah adalah sumber yang sangat penting dari konteks sosial untuk kelompok etnis dan kelompok nasional. Kita dapat mengingat bahwa di Indonesia terdapat semboyan “bhineka tunggal ika”, apa fungsi dari semboyan ini? Semboyan ini berusaha untuk mengkonstruksi sebuah representasi yang sama di dalam kepala rakyat. Akan tetapi adanya sebuah semboyan, sebuah moto atau ideologi bersama tidak berarti bahwa semua rakyat memiliki pandangan yang sama. Identitas individu terbentuk secara progresif melalui budaya dan sejarah. Sejarah sendiri dipahami oleh rakyat melalui representasi sosial. Ketika bangsa Aceh diminta mengubah sikapnya ke arah nasionalisme, atau melepaskan atribut keAcehannya, mereka akan dengan tegas menolak. Mengapa? Karena representasi sosial sejarah yang selama ini terbentuk dan dipahami adalah bahwa rakyat Aceh merdeka dan berdiri bukan karena bangsa Indonesia, akan tetapi karena rakyat Aceh sendiri. Karena peristiwa sejarah menyediakan sumber simbolik untuk menentukan identitas diri. Di sini dapat kita temukan bahwa teori mengenai representasi sosial disandingkan dengan teori identitas sosial, dan kombinasi ini mampu menjelaskan fenomena sosial yang kompleks tanpa terjebak kepada reduksionalisme individualistik.

V. Selayang pandang tentang representasi sosial
Teori representasi sosial adalah sebuah teori yang mampu untuk mengisi gap yang kosong antara penjelasan psikologis dan sosiologis. Berangkat dari sebuah kritik dan ketidakpuasan akan pandangan ilmuwan psikologi yang fanatik dan kaku. Moscovici melahirkan sebuah pendekatan yang sangat komprehensif dan fleksibel. Psikologi sosial sebuah area populer dalam bidang psikologi menjadi lebih hidup dan berkembang berkat pemikiran Moscovici. Kini, lahir berpuluh-puluh Moscovician yang melakukan pengembangan, inovasi, modifikasi dari teori representasi sosial.
Gejala sosial memang tidak bisa kita replikasi secara sempurna ke dalam panggung laboratorium. Yang bisa dilakukan adalah melihat gejala sebagaimana adanya. Jika demikian lalu apa perbedaan antra manusia awam dengan ilmuwan. Yang membedakan adalah bagaimana fenomena itu didekati dan dijelaskan. Gejala tidak harus kita kontrol dengan terlalu ketat, atau direduksi melalui konsep-konsep dan berbagai jenis hubungan yang digabung menjadi sebuah teori. Akan tetapi gejala dibiarkan bebas apa adanya, namun didekati secara ilmiah melalui metode yang fluid dan mampu untuk menjelaskan berbagai variabel yang ada secara menyeluruh. Disinilah konsep representasi sosial menjadi sangat dibutuhkan oleh peneliti gejala sosial. Representasi sosial yang disusun oleh moscovici tidak secara kaku membatasi penggunanya atau mewajibkannya dengan berbagai syarat yang ketat. Ini adalah sebuah pendekatan!!! tegas Moscovici, gejala dapat didekati dengan cara apapun. Yang menjadi perbedaan adalah teropong representasi sosial yang digunakan utnuk memperjelas gejala yang ada.
Manusia selalu merasa terancam oleh sesuatu yang baru atau tidak diketahui oleh dirinya. Sebagaimana teori representasi sosial hingga kini masih menjadi bahan perbincangan dan kritik di kalangan para psikolog sosial. Permasalahannya seputar metodologi dari representasi sosial sendiri yang tidak jelas, serta area dari representasi sosial yang seakan-akan meranah ke area sosiologi. Hal itu dijawab oleh Moscovici melalui keberhasilan dari teori representasi sosial dalam mengeksplorasi permasalahan sirkulasi informasi di masyarakat dengan cara yang mudah. Melalui premis yang sangat sederhana Moscovici mengatakan bahwa manusia hanya ingin mengubah hal-hal yang aneh, asing, tidak biasa, unfamiliar menjadi familiar. That’s it!!. Sekarang permasalahannya adalah bagaimana proses perubahan informasi dari yang unfamiliar menjadi familiar. Moscovici memberikan 2 buah konsep yang sederhana yaitu anchoring dan objectification. Kedua konsep ini menyerupai teori dari Piager mengenai perkembangan berpikir manusia, yaitu asimilasi dan akomodasi. Akan tetapi, Moscovici menariknya ke dalam ranah sosial, sehingga apa yang tersebar dan ada di benak masyarakat menjadi terjelaskan.
Representasi sosial semakin berjaya kini dengan revolusi media dan telekomunikasi yang sangat berperan dalam cara berpikir dan berperilaku manusia. Para psikolog dan sosiolog akan sangat sulit untuk dapat menemukan sebuah kerangka berpikir, acuan, atau frame yang dapat digunakan untuk menjelaskan hal tersebut. Representasi sosial mencover hal itu, hal ini dapat dilihat dalam tulisan dari Uwe Flick (1995) berjudul social representation.






















Gambar. Representasi sosial dari perubahan teknologi dalam kehidupan sehari-hari. Oleh Uwe Flick (1995).



Bagaimana kelanjutan dari konsep representasi sosial kedepan? Semua kembali kepada inovasi dan kreativitas dari para Moscovician.

Muhammad Faisal

Komentar

Anonim mengatakan…
heeey pak wah akhirnya saya ketemu juga ni pak di dunia maya heeheheh
mantablah pak ttg repsosnya maju terus pak kemarten saya pengen perjuangkn ttg repsos tp msh g mampu pak mhn bantuan dan bimbingannya yaa
semangattt pak ;D [NINdy]
Rusyda Fauzana mengatakan…
Bagus sekali penjelasannya. Teori ini juga dipakai di ilmu komunikasi. Saya kuliah di pasca ilmu komunikasi UI. DI sana ditawarkan teori ini untuk salah satu mata kuliah pilihannyanya. Teori ini bisa masuk ke ranah ilmu sosial mana pun. Pada awalnya agak susah memahami teori ini, karena penasaran, saya menggunakan teori ini juga untuk tesis yang sedang saya kerjakan yang berjudul "Representasi sosial Desentralisasi Modern pada Otonomi Daerah di Sumatera Barat". Terima kasih atas ilmunya. Semoga lain kali bisa berbagi lagi.
Anonim mengatakan…
Terima kasih, pemaparan yang sangat baik, membuat "clear" persoalan yang ada di benakku. aku lagi kuliah di SPD pasca IPB, mohon ijin untuk meng-unduh...sebagai salah satu tambahan informasi penting...
Anonim mengatakan…
WO HO HO. satu semester terlahap di sini.

TQ atas ulasannya yg mencerahkan, Mas Faisal

Salam, Any
ajengcindy mengatakan…
salam kenal..
saya mau mengucapkan terimakasih sekali.karena artikel ini sangat amat membantu skripsi saya..
kalo saya boleh minta tolong..ini buku nya atau referensi bukunya darimana ya?bisa di e-mailkan pada saya? di jenkcindy@gmail.com
saya utuh buat skripsi saya tentang representasi sosial..
terimakasiih sebelumnya pak.....
winalesmana mengatakan…
terima kasih mas.. sangat bermanfaat.. :)
Muhammad Faisal mengatakan…
Selamat menikmati teman-teman seperjuangan. memang materi-materi terbaik mosco kebanyakan berbahasa perancis.

selamat berjuang!
Unknown mengatakan…
Terima kasih pak Fai... sangat bermanfaat

Postingan Populer