Pendekatan Teori Kepribadian terhadap Pemimpin Politik:Studi Kasus Mao Zedong

 Pendekatan teoretik yang digunakan psikologi politik dalam berbagai studi kepribadian tokoh politik sangat dipengaruhi oleh cara serta teori yang telah secara ajeg digunakan oleh ilmuwan psikologi. Ini karena, teori-teori klasik mengenai kepribadian terbukti masih mampu untuk membedah aspek diri para elit politik hingga hari ini. Salah satu studi yang menarik untuk diulas adalah studi mengenai tokoh besar Cina Mao Zedong yang dilakukan oleh Michael M Sheng (Dalam Feldman dan Valenty, 2001).

Sheng melakukan sebuah studi mendalam mengenai aspek narsistik dari Mao serta keterkaitannya terhadap keruntuhan Cina di bawah kepemimpinannya. Istilah narcisstic sendiri berasal dari kisah mitologi Yunani.Yaitu dari seorang tokoh Yunani kuno bernama Narcissus yang jatuh cinta pada pantulan wajahnya sendiri ketika berkaca diatas air. Kecenderungan Narcisstic(narsistik) dapat disamakan dengan istilah egosentris dalam psikoanalitik Freud, yang bermakna kuatnya keterpusatan perhatian pada diri sendiri.

Heinz Kohut seorang psikoanalis terkemuka pada pertengahan abad 19 menyusun sebuah konsep yang komprehensif mengenai kepribadian Narsistik. Kohut (dalam Hall dkk, 1998) mengemukakan bahwa kepribadian yang narsistik adalah kepribadian yang sedang terganggu. Individu yang memiliki kecenderungan narsistik memiliki kesulitan untuk mengendalikan diri sendiri (self control) serta lemah dalam penghargaan diri (self esteem).

 Model teoretik dari Kohut disebut sebagai teori bipolar, dimana di satu sisi terdapat ambisi terhadap kekuasaan dan sukses, sedangkan di sisi yang berlawanan terdapat tujuan serta nilai yang diimpikan (idealized goals dan values). Teori narsistik dari Kohut meyakini bahwa terbentuknya kepribadian yang narsistik adalah produk dari gagalnya konstruksi self(diri) pada masa perkembangan.

Konstruksi self sendiri sangat dipengaruhi oleh interaksi anak dengan sosok ibu. Sebab, ibu adalah referensi penilaian diri serta gambaran diri yang ideal bagi anak. Menurut American Psychiatric Association Diagnostic and Statistical Manual (DSM –IV) terdapat enam kriteria dari diagnosis kepribadian narsistik yaitu: 1. Mementingkan diri sendiri secara berlebihan 2. Sibuk dengan fantasi terhadap sukses, kekuasaan, kecerdasan yang tak terbatas 3. Meyakini bahwa dirinya adalah spesial dan unik, dan bahwa dirinya hanya dapat dimengerti serta boleh diasosiasikan dengan sosok lain yang juga spesial serta memiliki status sosial yang tinggi. 4. Secara interpersonal ekspolitatif, yaitu mengambil keuntungan dari orang lain untuk mencapai keinginannya sendiri. 5. Kurang empati: tidak mengenali serta tidak mengidentifi kasi perasaan dan kebutuhan dari orang lain 6. Terkadang iri terhadap orang lain dan percaya bahwa orang lain iri terhadap dirinya. Arogan juga bangga terhadap diri sendiri.

Foto Keluarga Mao Zedong
Seseorang harus memiliki paling tidak lima dari enam kriteria tersebut untuk dapat didiagnosa sebagai seorang pasien dengan gangguan kepribadian narsistik. Mao Zedong menurut studi dari Sheng (dalam Feldman dan Valenty, 2001) memenuhi kriteria sebagai pribadi yang narsistik. Mao Zedong sendiri lahir pada tahun 1893 pada saat ideologi komunis sedang berkembang pesat di eropa timur. Mao lahir dari sebuah keluarga petani sederhana di Cina tengah, dimana beliau dibesarkan oleh seorang ibu yang sangat protektif dan ayah yang sangat keras. Ibu dari Mao merupakan seseorang dengan pribadi yang sangat lemah lembut, beliau juga merupakan seorang penganut Budha yang taat. Dalam tradisi serta kearifan Cina lama, anak laki-laki pertama memiliki nilai yang sangat luhur dan tinggi. Dengan demikian lahirnya Mao sebagai anak laki-laki pertama di dalam keluarga dinilai sebagai sebuah penghargaan yang meninggikan derajat sang Ibunda.

Mao diasuh dengan penuh kasih sayang oleh sang Ibu, dimana beliau menerima berbagai pandangan mengenai keharmonisan dunia darinya. Di sisi yang berlawanan sang ayah kerap memberikan pandangan yang tidak sempurna mengenai dunia dan menghukum Mao dengan hukuman fi sik yang keras. Menurut Sheng (Dalam Feldman dan Valenty, 2001) dua perlakukan yang kontradiktif dari orang tua Mao tersebutlah yang berkontribusi terhadap terbentuknya kepribadian diri Mao yang tidak seimbang di kemudian hari. Secara spesifi k Sheng mengemukakan bahwa Mao pada masa perkembangannya gagal untuk mengintegrasikan stimulus serta realitas dari luar karena internalisasi nilai yang tidak konsisten dari kedua orang tuanya.


Sumber :htt p://www.amhuilin.com/2011/09/05/mao-zedong-s-struggle-beganagainst-his-father/ Gambar 2.7 Ayah dari Mao Zedong

 Pada usia 17 tahun Mao menunjukkan dinamika kepribadian yang semakin berkonflik, yaitu gambaran mengenai diri yang sangat sempurna serta besar di satu sisi, namun secara bersamaan memiliki kecenderungan untuk membenci serta menyalahkan diri sendiri. Mao menuliskan dalam sebuah puisi yang tertera pada Biografi Mao berjudul Mao Zedong Nianpu bahwa dirinya kelak akan mati sebagai seorang pahlawan besar. Mao juga menyebutkan bahwa hanya gunung besar dan hijau yang akan mampu menerima jenazahnya yang penuh dengan berbagai glorifikasi.

Disebabkan oleh dorongan akan kesempurnaan serta grandiositas, Mao kerap melampiaskan ketidaksempurnaan dirinya kepada obyek atau subyek di luar dirinya. Ia menjadi seseorang yang sangat menuntut kesempurnaan dari orang-orang disekitarnya. Tuntutan tersebut sering kali ia sampaikan dengan cara yang keras serta kasar. Karena hal tersebut, Mao di masa perkembangannya, terutama masa remaja mengalami kesulitan dalam bergaul dengan pemuda-pemudi lain. Secara lebih lanjut Sheng (Dalam Feldman dan Valenty, 2001) mengemukakan empat simptom Narsistik yang dimiliki oleh Mao Zedong, yaitu; merasa tidak aman dan kebutuhan tinggi akan pengaguman, kesombongan serta intoleransi, denial, atau penolakan terhadap kenyataan, juga paranoia.

Keempat simptom tersebut di kemudian hari berperan besar terhadap dua alur Bangsa Cina yaitu; putusnya hubungan dengan Uni Soviet serta visi modernisasi dari Mao yang bertajuk ‘great leap forward’. Merasa tidak aman dan kebutuhan tinggi akan pengaguman Mao. Dalam berbagai testimoni dari orang yang pernah bekerja dengan Mao Zedong, seperti sekretaris, bodyguard, dan pelayannya, terdapat tekanan sangat tinggi dari Mao untuk tunduk patuh dan loyal terhadap dirinya. Mao senantiasa meminta para pekerjanya untuk menceritakan hal-hal yang bersifat privat tentang diri mereka, selain itu ia akan meminta masing-masing pekerja untuk membongkar rahasia dari teman-temannya. Mao akan merasa sangat marah apabila terdapat seorang pekerja yang merasa berat hati bekerja untuknya, atau berniat untuk berhenti dari  pekerjaannya.

Ini karena, Mao memiliki perasaan tidak aman dan menuntut setiap orang untuk mengaguminya, termasuk para asistennya. Kesombongan dan intoleransi dari Mao. Z li penulis buku ‘Private life of chairman Mao’, sebuah biografi mengenai kehidupan privat dari Mao, merekam beberapa peristiwa yang menunjukkan karakter intoleran dari Mao, dimana hal ini turut dianalisis oleh Sheng (dalam Feldman dan Valenty, 2001). Pada tahun 1956, Mao memiliki sebuah rencana vakansi untuk berenang di sungai Yangtze, akan tetapi Wang Dongxing menasehati Mao bahwa kegiatan tersebut akan berbahaya. Kemudian, Mao mengirim dua petugas keamanannya untuk melakukan investigasi, dua petugas tersebut adalah Han dan Sun. Ketika keduanya menghadap Mao untuk melapor, Han menyampaikan bahwa sungai tersebut berbahaya untuk dikunjungi Mao. Sekonyong-konyong Mao marah dan mengusir Han dari ruangan disertai dengan makian. Mao mengatakan “(Han) kamu bahkan tidak mencoba masuk ke dalam sungai tersebut. Bagaimana kamu bisa memastikan bahwa itu berbahaya?kamu tidak pantas menjabat sebagai kapten dari pertahanan?enyah kamu!”.

Setelah mengusir Han, Mao lalu menatap ke Sun, lantas karena takut akan mengalami nasib serupa Sun berbohong dengan mengatakan bahwa sungai tersebut aman untuk dikunjungi. Mao pun seketika tersenyum.Beberapa waktu kemudian Han dipindahkan dari jabatannya sebagai keamanan, sedangkan Sun tetap menjabat. Denial atau penolakan terhadap kenyataan dari Mao. Antara tahun 1958 dan 1962, Cina mengalami sebuah krisis pangan yang parah.Terdapat banyak keluarga yang meninggal karena kelaparan.

Hal ini terjadi tidak lain karena kebijakan Mao untuk menukar hasil produksi makanan dengan impor dari luar negeri. Mao sendiri sangat menyadari kondisi krisis yang dialami oleh rakyatnya, akan tetapi dia merasa bahwa hal tersebut terjadi bukan atas kesalahan dirinya. Hal tersebut merupakan sebuah ujian yang harus dilalui secara kolektif oleh bangsa Cina. Secara lanjut, Mao sendiri menekan dirinya dan keluarganya untuk mengurangi porsi makan, bahkan pada satu titik tertentu kedua putri dari Mao berada dalam kondisi sangat kelaparan hingga Mao melihat mereka makan dengan sangat nafsu ketika disajikan makanan. Terkait dengan sifat denial dari Mao, ia pernah berpidato di Shanghai pada tahun 1959 dan mengatakan ;“ketika kurangnya makanan membuat orang meninggal dunia. Maka biarkanlah separuh dari Bangsa Cina meninggal agar separuhnya dapat makan dengan piring penuh”.

Paranoia dari Mao. Seiring dengan semakin menua usia dari Mao maka semakin besar intensitas rasa takutnya terhadap kematian. Pada tahun 1958, Mao mencanangkan modernisasi Cina bertajuk “the great leap forward”, pada saat itu pula Mao menunjukkan gejala-gejala paranoia yang sangat tinggi. Dimana Mao harus berpindah rumah dari Chengdu, Nanchang lantas ke Wuhan. Ia meyakini bahwa rumah-rumah tersebut membuat ia merasa sakit, karena air juga udara dari rumah tersebut telah diracun
oleh orang yang hendak membunuhnya. Setiap dokter yang berpandangan berlawanan, yaitu mengatakan bahwa tidak ada yang hendak meracuni dirinya, maka akan ditinggalkan oleh Mao. Sheng (dalam Feldman dan Valenty, 2011) menerangkan bahwa pribadi narsistik dari Mao lah yang berkontribusi besar terhadap kebijakan-kebijakan dari Bangsa Cina di masa kepemimpinannya. Dorongan narsistik pada diri Mao pula yang membuatnya menerapkan sistem keamanan yang ketat serta hukuman yang berat bagi siapapun yang bertentangan dengan pemerintah. Ini karena, Mao mencita-citakan dirinya sebagai sosok penyelamat bangsa Cina, sedangkan para penentangnya sebagai musuh dari bangsa Cina.

Ditulis oleh:
Dr. Muhammad Faisal
(Diambil dari buku Psikologi Politik karya Dr. Muhammad Faisal)
*Dilarang untuk mengambil sebagian atau keseluruhan dari artikel diatas tanpa seizin dari penulis

Komentar

Postingan Populer