Cinta Abu Dzar Melampaui Hirarki Maslow

* Sebuah tulisan yang saya ketik 8 tahun yang lalu dengan penuh angkara murka  . Lucunya saya temukan telah terposting di beberapa blog orang yang tidak saya kenal, mereka tidak mencantumkan nama saya sebagai penulis namun ternyata mendapat few comments yang positif.. Saya coba perhalus bahasanya dan re-share ke teman-teman, semoga ada secuil manfaat yang bisa diambil...

            Telah berlalu puluhan dekade sejak kajian mengenai jiwa manusia beralih menjadi diskursus tentang perilaku. Hal ini bisa terjadi lantaran “the godfathers” dari ilmu psikologi sendiri seperti Freud, Skinner, Adler, Fromm, dan  Jung lebih merasa nyaman bersemayam dalam lobang logika materialistik yang bertendensi sekuler. Fakta itu dapat ditemukan dengan mudah dalam berbagai catatan pribadi juga biografi mereka.
Hal yang paling menarik hingga saat ini adalah, pengikut tokoh-tokoh tersebut terus berseteru perihal kesaktian jargon-jargon para pendahulunya, yang satu mempertahankan teorinya sedangkan yang lain berusaha keras melumpuhkannya. Masing-masing berjihad untuk kepentingan mahzab pemikiran yang mereka yakini. Sesungguhnya jika kita ingin benar-benar fair, pengakuan terhadap teori-teori mereka tidak mutlak datang dari mayoritas ilmuwan dunia, akan tetapi hanya dari beberapa paguyuban akademik yang mengukuhkan diri sebagai penentu benar dan salah. Dari manakah datangnya keabsahan metodologi? dari manakah datangnya sekolah-sekolah yang diakui? dari manakah datangnya jurnal-jurnal acuan? ya jelas dari pusara kebenaran paradigmatis ala ala barat.
Sebagai contoh, di satu waktu teori dengan metodologi yang sangat subyektif seperti teori psikoanalisa Freud boleh dibenarkan, di waktu yang berbeda bisa jadi diharamkan, seperti ketika Skinner meninggikan pentingnya cara eksperimental, laboratorium, statistik, dan variabel-variabel. Jadi sesungguhnya pendekatan apa yang paling benar? atau tepatnya paling memberi manfaat bagi kemaslahatan diri manusia? Pertanyaan penting ini selalu di-skip  oleh mereka. Oleh sebab itu kini muncul sebuah psikologi bernuansa ‘kiri’, psikologi dari negara dunia ketiga yang mempertanyakan segala sesuatu yaitu Psikologi Kritis.
Sekarang, saya ingin untuk bercerita sedikit tentang salah satu tokoh psikologi yang paling saya idolakan. Ia adalah Abraham Maslow, ilmuwan pengembang teori humanistik pada dekade 1950-an. Ia adalah salah satu ilmuwan moderat yang berusaha menengahi teori psikoanalitik dan behavioristik. Ketika psikoanalisa sendiri menganggap bahwa seluruh perilaku manusia dilandaskan oleh ketidaksadaran dan instink-instink kebinatangan, sedangkan behavioristik mengakui manusia  sebagai produk dari stimulus lingkungan, psikolog humanis memberikan penekanan juga pengakuan terhadap faktor-faktor internal, seperti perasaan, nilai-nilai luhur dan harapan. Akan tetapi, sampai titik ini para psikolog humanis masih dalam keadaan ragu tentang eksistensi jiwa! Apakah mungkin karena mereka terlalu ekstrem dalam kemoderatannya, atau saya sendiri yang belum memahami dengan mendalam apa yang hendak mereka sampaikan. Hanya Tuhan dan Maslow yang lebih mengetahui.
 Izinkan saya untuk melanjutkan. Maslow sendiri menyusun sebuah konsep hirarki kebutuhan manusia yang kini menjadi sangat populer dalam spektrum social science, hirarki ini adalah landasan motivasi bagi manusia untuk berperilaku. Hirarki kebutuhan maslow memiliki sifat universal, sehingga ia dapat menjelaskan berbagai perilaku manusia pada setiap tingkat ekonomi, budaya, zaman juga letak geografis. Pada tingkatan yang paling rendah dari hirarki kebutuhan maslow adalah kebutuhan biologis, yaitu makan dan minum. Menurut Maslow tanpa kebutuhan ini, manusia tidak akan mampu dan tidak akan pernah mencapai tahap berikutnya. Jadi setiap tingkatan adalah prasyarat bagi tercapainya tingkatan berikutnya. Untuk melewati tahap ini manusia akan melakukan apa saja!dan menghiraukan resiko apapun untuk memenuhi kebutuhan biologisnya! Sangat logis, dan ini adalah pendapat Bung Maslow lho.
Pada tingkatan yang paling tinggi adalah aktualisasi diri. Bagaimanakah manusia yang telah mencapai aktualisasi diri? Menurut Maslow orang yang teraktualisasi sudah dapat menerima diri mereka sendiri juga orang lain, ia cenderung berperilaku spontan, kreatif, dapat mengarahkan diri mereka sendiri atau self directed, baik dalam memecahkan masalah maupun dalam menjalin hubungan interpresonal, tidak otoriter, menghargai pengalaman, memiliki emosi yang kaya, cenderung untuk mencintai alam. Dalam terminologi tasawuf mereka yang mencapai tahap ini adalah para insan kamil atau manusia paripurna.Yang lebih unik adalah bahwa pada tahap ini, individu dikatakan mengalami sebuah peak experiences yaitu perasaan mistis dan spiritual yang membuat individu merasakan kesatuan dengan sesuatu di luar diri. Menurut Maslow sesungguhnya tahap ini tidak akan pernah tercapai, karena manusia terus menerus bergerak menuju aktualisasi diri. Agak melompat jauh, kira-kira seribu empat ratus tahun yang lalu, di balik bukit gersang padang Arabia, seorang laki-laki bersorban hitam berkata” kenalilah dirimu sendiri maka engkau akan mengenal Tuhanmu” Sosok bersorban hitam, berjanggut tebal tersebut adalah Ali bin Abi Thalib. A-ha! Otak heuristic saya pun serentak menyimpulkan bahwa pemikiran Maslow tak jauh berbeda dengan Sayyidina Ali. Yaitu bahwa pada puncak pengenalan diri terdapat penyingkapan kekuasaan sang Maha Tunggal.
Kembali kepada hirarki kebutuhan Maslow, tadi telah diutarakan bahwa pada tingkat paling bawah adalah kebutuhan biologis dan tingkat paling atas adalah aktualisasi diri, diantara keduanya adalah kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan afiliasi atau kebutuhan sosial, dan kebutuhan self esteem atau kebutuhan untuk memiliki rasa percaya diri. Disini saya tidak akan membahasnya satu persatu secara rinci karena melalui nama dari masing-masing tingkatan sudah cukup untuk menggambarkan makna dari tingkatan tersebut. Tingkatan kebutuhan ini sering digambarkan dalam bentuk piramid dan perlu saya tekankan lagi bahwa tiap tingkatan merupakan prasyarat bagi tingkatan yang berikutnya. Seseorang tidak akan mencapai aktualisasi diri tanpa terpenuhi haus dan laparnya, pengakuan sosialnya serta pengakuan terhadap kualitas dirinya.
Nah, sekarang kita mundur lagi dengan mesin waktu ke masa Kenabian Muhammad SAW. Saya ingin bercerita singkat tentang sosok Abu Dzar Al Ghifari. Beliau adalah salah satu sahabat Nabi SAW yang ikut serta dalam perang Tabuk. Tabuk sendiri terletak sangat jauh dari Madinah yaitu sekitar empat ratus mil. Rombongan nabi berangkat dengan perbekalan dan persenjataan yang seadanya. Di tengah perjalanan, tiga orang, satu demi satu tercecer di belakang, dan setiap kali ada yang tercecer, Nabi SAW diberi tahu, dan setiap kali Nabi berucap ” jika ia orang baik, ALLAH akan mengembalikannya dan jika ia orang tidak baik, lebih baik ia tidak pergi (tidak menyusul)”. Unta Abu Dzar yang kurus dan lemah termasuk yang terbelakang, dan Abu Dzar pun akhirnya tertinggal di belakang. Seorang sahabat berucap “Ya Rasulullah! Abu Dzar juga tercecer!” Nabipun mengulangi kalimat yang sama “Jika ia orang baik, ALLAH akan mengembalikan dia pada kita, dan jika tidak baik, lebih baik ia pergi”.
Pasukan terus maju dan Abu Dzar makin tercecer tetapi tidak ada yang dapat dilakukannya, binatang tunggangannya tetap tidak berdaya. Apapun yang ia lakukan untanya tetap tidak bergerak, dan kini ia tertinggal beberapa mil di belakang. Ia membebaskan untanya dan memikul sendiri muatannya. Dalam suhu terik itu ia meneruskan perjalanan di gurun panas. Ia serasa akan mati kehausan. Ia menemukan tempat berteduh di batu-batu yang terlindung panas oleh bukit. Di antara batu-batu itu ada sedikit air bekas hujan yang menggenang, tetapi ia berniat tidak akan meminumnya mendahului sahabatnya, Rasulullah SAW. Ia mengisi air itu ke dalam kantong kulit , memikulnya, dan bergegas menyusul kaum Muslim yang telah jauh di depan. Di kejauhan mereka melihat suatu sosok. “Ya Rasulullah! Kami melihat suatu sosok menuju arah kita!”
Beliau SAW berucap semoga itu Abu Dzar. Sosok itu makin dekat, memang itu Abu Dzar, tetapi tenaga yang terkuras dan dahaga serasa mau mencopot kakinya. Nabi SAW khawatir ia akan rubuh. Nabi SAW menyuruh memberikannya minum secepatnya, tetapi Abu dzar berkata serak bahwa ia mempunyai air. Nabi SAW berkata:
“Engkau mempunyai air, tetapi engkau hampir mati kehausan!”
“Memang, ya Rasulullah! Ketika saya mencicipi air ini, saya menolak meminumnya sebelum sahabatku Rasulullah”
Peristiwa yang dialami Abu Dzar ini sebenarnya adalah sebuah bukti bahwa Maslow tak sepenuhnya tepat dalam menggambarkan jenjang aktualisasi manusia. Sebab Teori Maslow yang begitu banyak digunakan dalam berbagai workshop motivasional tidak berdaya menjelaskan perilaku Abu Dzar yang self driven. Ia tidak terpengaruh letih dan hawa panas, mencintai alam dengan melepaskan untanya, menjalin hubungan interpersonal yang harmonis dengan sahabatnya yang mulia Rasulullah SAW, bahkan berkorban deminya. Semua itu menunjukkan bahwa Abu Dzar telah mencapai tingkat aktualisasi diri. Namun, ketika Abu Dzar merasakan lapar, haus, letih, bahkan terancam kematian, Ia yang berada dihadapan sebuah genangan air tetap tidak memikirkan kebutuhan biologis dirinya sendiri, akan tetapi memikirkan Rasulullah SAW. Dalil bahwa aktualisasi diri dari Abu Dzar tercapai tanpa prasyarat juga tanpa melalui tingkatan-tingkatan dasar. Abu Dzar tidak membutuhkan terpenuhinya kebutuhan biologis, bahkan ia rela mati, ia tidak membutuhkan pengakuan sosial, tercecerpun ia tidak putus asa, ia tidak membutuhkan pengakuan terhadap kemampuannya, tidak membutuhkan dukungan dari orang lain yang akan membuatnya percaya diri. Aktualisasi diri tidak tercapai melalui sebuah hirarki, tidak seperti sebuah tangga dimana untuk mencapai puncaknya harus menaiki anak tangga satu persatu. Abu Dzar menemukan cara yang lebih cepat dan sederhana untuk mencapai aktualisasi diri, yaitu dengan mencintai Rasulullah SAW.



Muhammad Faisal
Santri Psikologi

Psikolog Kebatinan
Aktivis Kehidupan :) 

Komentar

Postingan Populer