TO SWING OR NOT TO SWING
“To be or not to be,that is the question” (menjadi atau tidak menjadi, itu adalah pertanyaannya) ujar Hamlet, seorang tokoh utama dalam lakon karya William Sheakspeare. Pertanyaan tersebut konon mewakili sebuah keresahan eksistensial yang menjadi pokok permasalahan kemanusiaan pada abad ke 16. Melompat lima abad ke depan, dalam konteks politik nasional, mencuat sebuah pertanyaan eksistensial baru. “To be choosen or not to be choosen” , menjadi yang dipilih atau tidak dipilih. Pertanyaan itu kini menghantui para petinggi partai politik (parpol) nasional dalam menghadapi pemillu 2009. Pasalnya, jumlah swing voters (pemilih yang tidak terikat ke parpol tertentu) kian meninggi.
Dominasi kaum swing
Hasil survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) awal November lalu mengisyaratkan bahwa swing voter akan berperan besar dalam pemilu mendatang. Survei LSI yang dilakukan secara nasional, pada rentang waktu 25 Oktober hingga 5 November, mencatat bahwa 37 persen dari masyarakat Indonesia tergolong ke dalam kategori swing voter. Dari sisi elektabilitas parpol, Partai Demokrat (PD) menjadi pilihan utama masyarakat saat ini. Para pengamat politikpun berasumsi bahwa keunggulan PD berkorelasi dengan besarnya jumlah swing voters.
Fungsionaris PD sendiri tidak mau ambil pusing. Bagi mereka, politik bukan tentang benar atau salah, tapi tentang menang atau kalah. Swing atau tidak swing, demokrat tetap unggul dan patut diwaspadai oleh parpol lainnya. Uniknya, bagi para petinggi PD maupun elit politik secara umum, wacana swing voters lebih diarahkan kepada kalkulasi peluang parpol menjelang pemilu. Padahal, faktor dibalik perilaku swing masih menjadi sebuah pertanyaan besar hingga detik ini.
Peran Party id
Secara psikologis, swing voters disebabkan oleh lemahnya identifikasi masyarakat terhadap parpol (party id). Party id sendiri ditentukan oleh tiga hal, yaitu identitas sosial, jendela persepsi (perceptual window), dan performa partai. Identitas sosial terbentuk ketika seseorang mengidentifikasikan diri ke sebuah kelompok sosial tertentu. Menurut Abrams dan Hogg (1988) identitas sosial berperan dalam meningkatkan penghargaaan diri (self esteem ) seseorang. Ini karena, identitas sosial dapat mengafirmasi posisi individu di tengah masyarakat.
Kondisi politik saat ini menunjukkan bahwa parpol tidak mendukung terbentuknya sebuah identitas sosial yang baik. Sebab, parpol sendiri masih dipersepsi secara negatif oleh masyarakat. Alih-alih, menguatkan penghargaan diri, identifikasi terhadap sebuah parpol malah berpotensi untuk merendahkan penghargaan diri seseorang. Ketika parpol tidak mampu menawarkan identitas sosial yang positif bagi masyarakat, party id-pun akan menjadi rendah. Data LSI sendiri menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil dari masyarakat yang memiliki party id (15 persen).
Perceptual window adalah faktor lain yang berkontribusi terhadap rendahnya party id. Menurut paradigma psikologi kognitif, manusia membutuhkan sebuah perceptual window untuk menyederhanakan kompleksitas informasi yang memasuki pikirannya. Jendela persepsi itu bisa diperoleh melalui agama maupun ideologi. Ideologi sendiri bisa ditemukan dalam berbagai ruang sosial, salah satunya parpol. Sayangnya, parpol nasional tidak mampu menjadi sumber nutrisi ideologis bagi masyarakat. Ini karena, ideologi bukan lagi menjadi sebuah kemestian bagi sebuah parpol di Indonesia.
Dalam peta politik Indonesia yang aktual, performa parpol menjadi faktor tunggal dalam pembentukan party id masyarakat. Membuka kembali lembaran survei LSI, terdapat sebuah data yang mendukung argumen tersebut. Secara statistik data LSI membuktikan bahwa terdapat korelasi yang tinggi (.87) antara elektabilitas PD dengan kinerja Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dengan kata lain, semakin baik performa SBY, semakin tinggi pula dukungan masyarakat terhadap PD. Oleh karena itu, semakin luas dan konkrit kinerja sebuah parpol atau seorang figur partai, semakin baik party id publik terhadapnya.
Performa parpol
Untuk kasus PD, mencuatnya dukungan publik parpol tersebut tidak lepas dari performa SBY sebagai petinggi PD. Penetapan status Aulia Pohan sebagai tersangka dan rencana penurunan harga BBM adalah dua diantaranya. Kedua isu itu merebak bersamaan dengan masa pengambilan data survei LSI, yaitu 25 Oktober hingga 5 November. Isu penurunan BBM merembas ke media pada 29 Oktober, sedangkan isu Aulia Pohan merebak di media masa nasional pada 30 Oktober.
Menanggapi status terakhir Aulia Pohan, SBY dengan tegas mengatakan “Kalau Pak Aulia Pohan bersama-sama yang lain dianggap melakukan kesalahan di dalam konteks ini, tentu proses penegakan hukum ditegakkan. Saya tidak boleh mengintervensi, saya tidak boleh mencampuri semangat kita semua”( Kompas, 30/10/2008). Walau bernuansa positif dukungan swing voter yang beralih ke PD bisa jadi bersifat sementara. Karena, peralihan suara tersebut juga dipicu oleh performa SBY yang bersifat temporal. Jika kasus Aulia Pohan tak menemui titik akhir dan penurunan harga BBM ternyata tidak stabil, masyarakat berpotensi untuk menolehkan swing berikutnya ke parpol lain.
Bagi parpol secara umum, permasalahan swing selayaknya dijadikan sebuah refleksi politik. Karena, tingginya swing voter bersifat situasional bukan genealogis. Masyarakat Indonesia tidak secara lahiriah memiliki kepribadian plin-plan dalam berpolitik, namun kondisi politik nasional sendiri yang mendorong publik untuk melakukan swing. Berkaca dari kasus PD, bagi masyarakat “To swing or not to swing” pada hakekatnya bukan sebuah permasalahan eksistensial sebagaimana Hamlet, tapi sebuah permasalahan performa parpol. Layaknya, jika parpol tidak mampu untuk menyajikan sebuah ideologi maupun identitas sosial yang baik bagi masyarakat, setidaknya lakukanlah sebuah kinerja yang nyata!
Muhammad Faisal
Analis Psikologi Politik Charta Politika Indonesia
Komentar
aku juga hobi nulis, tapi kayaknya semacam diary gitu deh.. hihihi
pengen buat buku, tapi kok masih jauh di angan2. hehehe,,
btw, congrats for d new baby ya..
check out my blog juga ya.. ada linknya kok.
bye