Ronde Final Iklan Politik
Menjelang pemilihan anggota legislatif April 2009, banyak partai politik memamerkan jurus-jurus kampanye pamungkas.
Hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan, pertarungan udara hanya didominasi dua parpol. Di satu sudut ada Partai Demokrat (PD) sebagai incumbent, di sudut berlawanan berdiri Partai Gerindra, menantang. Ini adalah ronde final iklan politik!
Gerindra dan PD memiliki modal finansial seimbang untuk bertarung melalui iklan politik. Data AC Nielsen memaparkan, Juli-Oktober 2008, Gerindra telah membayar sekitar Rp 8 miliar setiap bulan untuk amunisi iklan politik. Untuk rentang waktu yang sama, PD mengeluarkan sekitar Rp 8,5 miliar. Selain modalitas finansial, kekuatan narasi juga amat menentukan daya dobrak sebuah iklan politik.
Pertarungan narasi
Iklan politik PD dan Gerindra bernarasi dengan strategi berbeda. Iklan PD menyampaikan pesan politik secara indeksial. Data-data disampaikan secara gamblang, melalui icon, tanpa kisah, tanpa dramatisasi. Ranah kognisi publik adalah area yang ingin dibidik PD. Sayang, publik tak selalu mampu mengolah informasi indeksial dengan baik.
Anthony Downs (1957), penggagas rational choice theory, menyatakan, pilihan politik masyarakat tak selalu ditentukan banyaknya informasi yang mereka miliki tentang kandidat, tetapi juga dipengaruhi kapasitas masyarakat untuk mengolah informasi itu (contextual knowledge). Mayoritas masyarakat Indonesia sendiri belum memiliki contextual knowledge yang baik tentang politik. Alhasil, informasi politik yang gamblang belum tentu bisa dicerna oleh publik.
Di pihak lain, Gerindra menyampaikan isu dengan narasi simbolik. Sebuah kapal nelayan menabrak ombak dengan layar berlogo burung garuda kuning; seorang anak membaca buku di tengah ladang lalu menatap langit dengan harap; para pedagang pasar bekerja dengan semangat; sebuah suara pelan wanita lalu meninggi mengatakan ”Gerindra… Gerindra… Gerindra” mengiringi para petani yang sedang bekerja merupakan bagian adegan yang dapat ditemukan dalam seri iklan politik Gerindra.
Narasi simbolik Gerindra bermain dengan ranah emosi. Peter Bynum (1992), konsultan politik dari Partai Demokrat di AS, mengatakan, iklan politik yang bernarasi dengan emosionalitas lebih menarik ketimbang fakta yang disajikan secara gamblang.
Survei LSI sejalan dengan pernyataan Bynum. Data survei periode November 2008 menunjukkan, tingkat awareness publik terhadap iklan Gerindra (62 persen) lebih tinggi dibandingkan PD (61 persen). Dari sisi ingatan publik terhadap iklan politik, Gerindra (51 persen) juga lebih unggul dari PD (42 persen)—menurut survei LSI Oktober 2008. Secara lebih lanjut, iklan Gerindra yang menyentuh aspek emosionalitas sesuai dengan segmen publik yang berpendidikan rendah.
Sniderman (dalam Brader, 2006) mengutarakan, mereka yang kurang terdidik cenderung mengandalkan emosionalitas dalam mencerna iklan politik. Adapun iklan PD yang banyak menyajikan informasi berbentuk data statistik lebih sesuai dengan publik urban yang berpendidikan tinggi. Dalam beberapa pekan ke depan, kedua parpol perlu menciptakan iklan yang tepat guna menggerakkan segmen pemirsa yang telah terbentuk.
Kekuatan pesan
Sebagai penggerak sentimen pemirsa, iklan politik dengan pesan positif lebih efektif dibandingkan iklan dengan pesan negatif (dalam Kaid, 2004). Karena itu, Gerindra dan PD tetap menjual pesan positif dalam iklan politiknya meski dengan pendekatan narasi berbeda.
Melalui iklan politiknya, kepada publik PD menyuntikkan harapan akan stabilitas kondisi hidup. Caranya dengan mengingatkan publik akan keberhasilan pemerintah, seperti penurunan harga BBM, penurunan jumlah pengangguran, dan peningkatan subsidi pendidikan. Di tempat lain, Gerindra menggugah nasionalisme publik dengan optimisme kebangkitan Indonesia yang direpresentasikan melalui kegagahan seekor macan.
Hasil survei LSI merekam daya sihir pesan positif iklan Gerindra dan PD. Elektabilitas Gerindra melonjak dari 1 persen pada Juni 2008 menjadi 4 persen pada Desember 2008. Secara lebih mengejutkan, PD pada Desember 2008 berhasil mencapai 23 persen, padahal pada Juni hanya 9 persen. Sebagai perbandingan, iklan politik PDI-P ”Mega kembali, hidup baik kembali” yang mengomparasi kondisi ekonomi era Megawati dan kini, gagal mengubah psikologi publik melalui pesan negatif. Elektabilitas PDI-P menurun tajam dari 24 persen pada Juni 2008 menjadi 17 persen pada Desember 2008.
Sentuhan kolektivisme
Untuk menang, baik Gerindra maupun PD harus mampu mentransformasi pemirsa menjadi suporter, sebelum terakhir menjadikannya sebagai pemilih. Salah satu iklan politik yang berhasil melakukan transisi audience ke voters secara mulus adalah iklan politik Barack Obama dalam kampanye Pemilihan Presiden AS 2008. Kuncinya terletak pada sentuhan kolektivitas.
Pesan dalam iklan Obama tidak serta-merta memerintah pemirsa untuk memilih. Ia juga tidak menampilkan unsur-unsur elitis dan kekuasaan, tetapi kesederhanaan dan kebersamaan. Dalam pesan ”Yes we can” dari Obama, ’We’ (kita) memainkan peran sentral dalam memengaruhi psikologi publik.
Konsep ’We’ (kita) dalam iklan politik Obama mampu mengubah audience dari obyek menjadi subyek, dari pemeran pasif menjadi pemeran aktif politik. Hasilnya pun fenomenal, terlihat saat Obama memenangi suara dukungan di atas 50 persen pada Pilpres AS lalu.
Di Indonesia, resep kolektivisme terbukti sukses mentransformasikan psikologi publik. Pada Pilpres 2004, iklan calon presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK) mengusung pesan ”Bersama kita bisa”. Kata ”Kita’ dalam pesan iklan politik SBY-JK berhasil menghapus kesan politik Indonesia yang elitis dan egosentris. Hasilnya, SBY-JK sukses meraih dukungan mayoritas suara.
Upaya PD memenangi ronde final iklan politik tak pelak harus menyertakan psikologi ’Kita’ . PD perlu menghilangkan jarak parasosial (kedekatan audience dengan tokoh dalam iklan politik) yang membentang dengan menyisihkan atribut-atribut yang bersifat elitis, seperti jaket partai, dominasi tampilnya icon, serta salam khas partai. Jika tidak, Gerindra akan memenangi kontestasi iklan politik ini dengan menyulap audience tetapnya menjadi voters.
Alasannya, iklan Gerindra telah menyertakan sentuhan kolektivitas yang digambarkan melalui kegiatan masyarakat, tidak adanya atribut parpol yang elitis, serta kalimat kolektivis ”Mari bergabung bersama Gerakan Indonesia Raya…” yang diucapkan petinggi Gerindra, Prabowo Subianto. Akhirnya, piala iklan politik akan jatuh ke tangan parpol yang berjiwa ’Kita’, bukan ’Kami’.
Muhammad Faisal Pemerhati Psikologi Politik Charta Politika Indonesia.
Kompas 4 Februari 2009.
Komentar