Pemuda, Parpol, dan Golput
Sejak permulaan periode kampanye bulan juli lalu, kelompok pemuda (17-25 tahun) menjadi incaran berbagai partai politik (parpol). Suara pemilih pemuda yang diperkirakan mencapai 50 juta suara menarik perhatian berbagai parpol untuk lebih fokus menggarap segmentasi tersebut. Beragam organisasi dan kegiatan pemuda yang diwadahi oleh parpol mulai berjamur.Momentum sumpah pemudapun menjadi sarana marketing politik bagi parpol untuk menampilkan citra politik yang pro-pemuda. Sayangnya, pendekatan-pendekatan parpol sejauh ini belum dapat meyakinkan pemuda untuk mengubah prasangka mereka tentang politik.
Berburu Pemuda
“Biar oldies asal gaul!”, begitulah seruan para petinggi parpol berhaluan nasionalis dalam menghadapi pemilu 2009. Bagi Partai Demokrasi Perjuangan Indonesia (PDIP), pendirian Taruna merah putih (TMP) adalah salah satu usaha parpol untuk tampil lebih gaul di mata pemuda. Lembaga tersebut diramaikan oleh berbagai tokoh muda, seperti Richard Sambera serta Edo Kondolongit, dan diisi dengan kegiatan-kegiatan kepemudaan. Citra yang ditampilkan TMP tidak secara eksplisit membawa bendera parpol, hal itu terlihat melalui logo TMP yang tidak menyerupai simbol-simbol PDIP. Dari aspek branding politik, citra dan konten TMP sudah cukup merepresentasikan kelompok pemuda. Tapi, pada prakteknya TMP lebih banyak diramaikan oleh putra-putri pengurus PDIP sendiri dan belum mampu memberikan daya tarik bagi pemuda pada tingkat nasional.
Pada parpol dengan basis ideologi Islam, terdapat Gema Keadilan, sebuah wadah pemuda dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang bergerak pada tingkat akar rumput. Berbeda dengan TMP, Gema Keadilan lebih banyak melakukan door-to-door campaign pada kelompok mahasiswa yang memiliki semangat militansi Islam. Di dalam stuktur Gema Keadilan tidak terdapat icon-icon populer sebagaimana di TMP. Isu-isu dakwah dan jihad menjadi komoditas andalan untuk menarik “Anak-anak masjid” di lingkungan Universitas. Strategi Gema Keadilan sejauh ini telah berhasil untuk menarik kelompok pemuda dari luar lingkaran internal partai. Akan tetapi, citra ekslusif dan isu yang terlalu tersegmentasi membatasi jangkauan Gema Keadilan di tingkat nasional. Pemuda-pemudi yang berideologi liberal, tidak berjanggut maupun berjilbab tidak terakomodasi. Alhasil, Jarak politik antara pemuda dan parpol di tingkat nasional masih terbentang lebar.
Psikologi Pemuda
Perkembangan mental pemuda (17-25 tahun), menurut Kurt Lewin, sedang berada di dalam fase moving (bergerak) dari sebuah siklus unfreezing (cair)-moving (bergerak)-refreezing (membeku). Pemuda masih moving (bergerak) dalam pencarian jati diri, maka tidak mengherankan jika pemuda bersikap terbuka dengan nilai-nilai, norma, visi, dan keyakinan baru. Oleh sebab itu, kemapanan dan rutinitas adalah dua hal yang tidak digemari oleh pemuda, namun perubahan adalah sesuatu yang menantang bagi mereka. Dengan kata lain, pilihan politik pemuda selalu moving (bergerak) dari satu parpol ke parpol lain.
Parpol kurang sensitif terhadap psikologi pemuda. Strategi parpol, baik nasionalis maupun Islam, dalam mendekati pemuda hanya menggunakan paradigma unfreezing dan refreezing . Bagi TMP, figur atlet, artis, serta kegiatan-kegiatan pemuda diasumsikan mampu untuk membekukan pola moving pemuda dalam berpolitik. PDIP berpikir bahwa kehadiran wadah pemuda yang diisi oleh pemuda sudah merupakan sebuah strategi jitu dalam menarik minat pemuda. Di tempat lain, Gema Keadilan mengimani konsep dakwah sebagai ruang unrefreezing bagi pilihan politik pemuda. PKS meyakini bahwa proses unfreezing ideologis yang bernuansa dakwah adalah adalah cara terbaik untuk menggaet pemuda. Tapi, pada hakekatnya, pemuda senantiasa berada dalam kondisi moving dan sulit untuk dihentikan. Sementara itu, golput menjadi ruang persinggahan.
Mensiasati golput pemuda
Golput pada pemuda adalah konsekuensi psikologis dari kondisi politik nasional. Hasil riset kualitatif mengenai perilaku politik pemuda dengan metode diskusi terfokus (focus group discussion) yang dilakukan penulis di 9 kota besar (Jakarta, Surabaya, Banjarmasin, Bukit Tinggi, Banda Aceh, Medan, Makassar, Palembang, Semarang, Bandung) menunjukkan bahwa pemuda belum menemukan sebuah wadah politik yang ideal. Di mata pemuda, parpol terlalu banyak berjanji, kotor, dan lupa akan rakyat ketika berkuasa. Kegiatan-kegiatan serta wadah pemuda yang ditawarkan parpol tidak terlalu menarik bagi pemuda, sebab hanya muncul menjelang pemilu. Alhasil, politik secara umum dipandang secara negatif oleh pemuda. Oleh karena itu, menghadapi pemilu 2009, mayoritas pemuda kemungkinan besar akan memilih untuk tidak memilih.
Menyongsong pemilu 2009, para petinggi parpol perlu mengubah paradigmanya dalam mendekati pemuda. Sebab, kegagalan strategi kampanye parpol sangat menetukan pilihan pemuda, hasil pemilu, dan jumlah golput. Pemuda membutuhkan motivasi untuk memilih bukan persuasi untuk memilih parpol tertentu. Dengan demikian, wadah politik yang ideal bagi pemuda adalah sebuah wadah yang tidak membatasi ruang gerak fisik dan ideologis dari pemuda, karena perkembangan mental pemuda masih berada di dalam tahap moving dan bukan refreezing. Jika saat ini para petinggi parpol betul-betul fokus terhadap suara pemilih pemuda, maka parpol harus mengikuti laju mental dari pemuda, yaitu mencairkan (unfreeze) paradigma politik yang lama dan bergerak (moving) bersama pemuda. Secara sistemik, golputpun akan memudar dan parpol akan menjiwai secara penuh semangat pemuda.
Muhammad Faisal
Analis Psikologi Politik Charta Politika Indonesia, Mahasiswa S3 Psikologi Universitas Indonesia
(telah dimuat dalam rubrik opini Republika)
Komentar
Pilih saya No 1:
http://opiniorangbiasa.blogspot.com/2008/10/pilkadal.html