LOGIKA POLITIK KAUM MUDA
Di Indonesia, jumlah pemuda (17-30 tahun) diperkirakan mencapai angka 50 juta orang, mereka tersebar di berbagai pelosok tanah air. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), di setiap kabupaten terdapat sekitar 30 persen dari penduduknya yang tergolong pemuda . Kondisi demografis ini membuka ruang marketing bagi para peserta pemilihan umum (pemilu) untuk berkampanye. Pemuda menjadi sebuah segmentasi yang berpotensi untuk mendongkrak suara partai politik (parpol) maupun calon presiden. Selain jumlahnya yang besar, tingkat identifikasi dan loyalitas politik pemuda terhadap parpol maupun tokoh politik tertentu masih relatif rendah sehingga dianggap lebih mudah untuk dipersuasi.
Dikotomi ‘Tua’ dan ‘Muda’
Fokus penggarapan segmentasi pemuda hingga saat ini masih menjadi sebuah dilema. Pasalnya, parpol maupun dewan perwakilan rakyat (DPR) masih dipadati oleh politisi senior yang rata-rata berusia 50 tahun keatas. Menurut hasil tinjauan Charta Politika Indonesia, hanya terdapat 7 persen dari anggota DPR yang berasal dari kaum muda. Sedangkan, 46 persen diantaranya berusia 50 tahun keatas. Menelisik secara lebih mendalam, dua fraksi legislatif terbesar saat ini, fraksi Partai Golongan Karya (Golkar) dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) juga dihuni oleh kaum tua. Di fraksi PDIP terdapat 61 persen diantara anggotanya yang berusia 50 tahun keatas, sedangkan di Golkar 74 persen.
Situasi ini mendorong beberapa elit politik muda untuk melakukan sebuah terobosan politik. Yuddy Chrisnandi, Fadjroel Rahman, dan Rizal Malaranggeng adalah beberapa diantaranya. Mereka memberanikan diri untuk maju dalam bursa pemilihan presiden dengan membawa isu kepemudaan. Jarak politik antara ‘Tua’ dan ‘Muda’ menjadi kian membentang. Kelompok tua melihat kaum muda dengan pandangan pesimistik, di tempat lain kelompok pemuda melihat kaum tua sebagai kelompok anti perubahan. Usia menjadi sebuah permasalahan politik yang pelik.
Identitas ‘Kaum muda’
Secara psikologis, ‘Pemuda’ merupakan sebuah identitas. Identitas sendiri terbentuk ketika seseorang mempersepsi diri sebagai bagian dari kelompok tertentu. Menurut Abrams dan Hogg (2001) identitas berperan dalam menjaga keseimbangan penghargaan diri (self esteem) seseorang. Oleh sebab itu, tinggi rendahnya status sosial dari sebuah kelompok akan turut mempengaruhi self esteem seseorang yang mempersepsikan dirinya sebagai bagian dari kelompok tersebut.
Dalam konteks identitas pemuda, usia menjadi sesuatu yang tidak relevan. Sebab, batas usia tidak memberikan sebuah reward psikologis yang dapat meningkatkan self esteem seseorang. Self esteem lebih ditentukan oleh faktor-faktor psikologis dibandingkan faktor biologis seperti usia. Dengan demikian, ketertarikan dan identifikasi pemuda terhadap sebuah kelompok tidak ditentukan oleh komposisi usia dari anggota kelompok tersebut.
Hasil kelompok diskusi terfokus bersama kaum muda yang dilakukan oleh Charta Politika Indonesia di 9 kota (Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, Banjarmasin, Makassar, Bukittinggi, Banda Aceh, dan Palembang) menunjukkan persepsi politik yang unik. Pemuda memandang aspek kharisma, ketegasan, keberanian, dan kepedulian seorang tokoh politik sebagai pertimbangan utama dalam menentukan pilihan politik. Bagi pemuda, aspek kepemimpinan merupakan faktor penentu dalam transformasi kondisi politik, pandangan ini banyak ditemukan di pulau Jawa.
Pemuda di pulau Sumatera memiliki persepsi politik yang sedikit berbeda. Faktor kedaerahan menjadi salah satu pertimbangan utama dalam memilih partai politik tertentu. Sebab, putra daerah dianggap lebih memahami seluk-beluk kondisi sosial politik setempat. Seorang elit politik juga harus memiliki aspek keagamaan yang kuat serta track record yang jelas dalam dunia politik. Pendapat ini merupakan manifestasi dari keresahan kaum muda akan buruknya tingkat moralitas politik nasional. Pemuda meyakini bahwa seorang pemimpin harus memiliki sifat merakyat serta ideologi aksi. Alasannya, saat ini para wakil rakyat dianggap terlalu elitis dan berideologi wacana.
Kaum muda juga menyatakan bahwa aspek integritas dan kemampuan untuk melakukan perubahan sebagai karakter yang harus dimiliki oleh seorang wakil rakyat. Selain itu, seorang tokoh politik di mata kaum muda harus mandiri dan tidak mudah dipengaruhi kepentingan-kepentingan kelompok tertentu. Kondisi-kondisi ini ditemukan pada pemuda di pulau Sulawesi. Hasil riset diatas mengindikasikan bahwa terdapat perbedaan persepsi antara kaum muda di tingkat elit dengan di tingkat akar rumput.
Ambiguitas ‘Kaum muda’
Kaum muda di tingkat elit memaknai “Pemuda” dengan stereotipy tertentu. ‘Kaum muda’ dipandang hanya sebatas rentang usia. Rentang usia yang dimaksud adalah 20 sampai 40 tahunan. Pendefinisian ‘Kaum muda’ secara sempit ini mendorong para elit politik untuk berbondong-bondong menyatakan diri sebagai seorang tokoh muda. Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Tifatul Sembiring (47 tahun) adalah salah satunya. Tifatul seiring dengan momentum pemilihan umum mengatakan “Saatnya pemuda bertarung” (Ja’far dan Ahmadi, 2008). PKS, sebagai mesin politik dari Tifatul, juga mengedepankan isu “Bangkit pemimpin muda!” dalam iklan politik mereka yang terbaru. “Pemimpin muda” yang dimaksud adalah mereka yang muda secara usia biologis.
Di tempat lain, Partai Pemuda Indonesia (PPI) di bawah komando Hasanuddin Yusuf menyatakan diri sebagai kendaraan politik bagi pemuda. Hasanuddin menyerukan dalam deklarasi PPI " Partisipasi rakyat dan pemuda Indonesia dalam politik kita tingkatkan, termasuk makin dilibatkannya pemuda Indonesia menjadi pelaku utama dalam kehidupan politik dan kebangsaan" (seperti dikutip antaranews.com). PPI juga menetapkan bahwa keanggotaan PPI harus selalu diisi oleh kaum muda, yaitu mereka yang berusia di bawah 50 tahun. Sekali lagi, ‘Kaum muda’ dimaknai sebatas rentang usia.
Pemaknaan ‘Kaum muda’ secara sempit tidak akan memberikan dampak elektoral yang signifikan bagi elit politik. Dukungan pemuda tidak ditentukan oleh isu-isu yang mengedepankan masalah usia. Namun, gerakan pemuda lebih ditentukan oleh isu-isu kepemimpinan, seperti kharisma, ketegasan, kepedulian, dan kemampuan untuk melakukan perubahan. Pandangan politik kaum muda tidak mengisyaratkan kebutuhan akan seorang pemimpin muda, akan tetapi mengisyaratkan kebutuhan akan seorang pemimpinan yang berkualitas. Jika seorang pemimpin tampil dengan kualitas yang diidamkan kaum muda, pemuda akan dengan mudah mendukung bahkan mengidentifikasikan diri ke sosok pemimpin tersebut. Ini karena, secara psikologis self esteem pemuda juga akan terangkat.
Untuk itu, momentum ‘Kaum muda’ seharusnya menjadi pemicu bagi para elit politik untuk meningkatkan kualitas kepemimpinan mereka. Sebab pemimpin kaum muda adalah pemimpin yang berkualitas, tidak menjadi masalah berapa usianya. Pemuda selayaknya tidak dijadikan komoditas untuk kepentingan elektoral semata. Namun, pemuda seharusnya dijadikan sebuah sebuah logika berpikir, yaitu logika yang mengutamakan kualitas diatas segalanya.
Muhammad Faisal
Analis Psikologi Politik Charta Politika Indonesia, Mahasiswa S3 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Komentar