Kekuatan Mantra Iklan Politik
“Yes we can” merupakan tiga kata magis yang menjadi kunci kesuksesan, sang presiden terpilih, Barrack Obama. Pada masa kampanye pemilu AS lalu, tim pemenangan Obama mengemas pesan “Yes we can” menjadi sebuah iklan politik yang dinamis. Beberapa bintang pop muda Amerika, seperti John Legend dan Will I am turut dilibatkan. Mereka menggubah “Yes we can” dalam bait lagu yang menghanyutkan emosi audiens. Hasilnya, 5 Oktober lalu, ratusan ribu rakyat Amerika menyerukan “Yes we can..yes we can” dengan penuh haru pada pidato kemenangan Obama. “Yes we can” adalah kalimat mantra dari Obama yang berhasil menyihir psikologi publik Amerika lewat iklan politik.
Kesuksesan Obama dalam menarik dukungan publik tidak lepas dari permainan emosi. “Yes we can” bukan sekedar jargon yang dimanfaatkan oleh tim kampanye Obama dalam iklan politiknya, akan tetapi “Yes we can” merupakan sebuah stimulus emosi yang menggugah rasa harap publik. Stimulus emosi ini disampaikan secara konsisten dari awal hingga akhir kampanye untuk membangkitkan optimisme publik akan perubahan kondisi hidup mereka. Dampaknya terlihat pada national election lalu, pilihan politik masyarakat Amerika didominasi psikologi pro-perubahan.
Rahasia iklan politik
Menurut Lazarfeld et al (dalam Brader, 2006) semua jenis propaganda pada dasarnya adalah permainan emosi publik. Baden (dalam Brader, 2006) menambahkan bahwa iklan politik pada intinya lebih ditujukan untuk menggugah aspek emosional dibandingkan intelektual. Stimulus emosi dalam iklan politik pada umumnya terbagi dua, yaitu rasa takut dan harap. Rasa takut akan mendorong seseorang untuk memilih sosok pemimpin yang mendatangkan stabilitas, sedangkan rasa harap akan mendorong seseorang untuk memilih sosok pemimpin yang mendatangkan perubahan.
Dalam iklan politik, stimulus emosi dapat disampaikan secara verbal maupun visual. Secara verbal, paparan data statistik mengenai angka kemiskinan atau tingkat kematian dapat memicu perasaan cemas dari audiens. Sedangkan secara visual, adegan kelahiran seorang anak dan gambaran lingkungan yang nyaman dapat menstimulasi rasa harap. Kombinasi antara stimulasi visual dan verbal yang difokuskan ke sebuah ranah emosi tertentu di sebuah iklan politik akan meninggalkan kesan yang kuat dalam ingatan audiens. Sebab, secara psikologis, kesan-kesan emosional cenderung untuk disimpan di dalam memori jangka panjang seseorang. Pada konteks indonesia, iklan politik lokal masih mengesampingkan ranah psikologi.
Mantra iklan politik lokal
Soetrisno Bachir (SB) dan Partai Amanat Nasional (PAN) adalah pelopor iklan politik “Hidup adalah perbuatan!”. Kampanye “Hidup adalah perbuatan” sangat masif, ia meliputi media televisi, cetak, dan spanduk-spanduk yang dapat ditemukan di berbagai persimpangan jalan. Sayangnya, efek mantra dari “Hidup adalah perbuatan” kurang berdampak terhadap tingkat elektabilitas SB. Survei yang dilakukan oleh Charta Politika pada masa awal penayangan iklan “Hidup adalah perbuatan” mengindikasikan bahwa mayoritas audiens iklan tersebut menentang pencalonan SB sebagai presiden. Hasil survei dari lingkar survei Indonesia pada Oktober lalu juga menunjukkan bahwa popularitas Soetrisno Bachir tetap stagnan pada angka 49 persen.
Di tempat lain, Rizal Mallarangeng, seorang calon presiden independen, juga memperkenalkan diri kepada publik lewat iklan politik. Iklan politik dari Rizal menyatakan “Generasi baru, harapan baru”. Rizal mengambil isu pemuda sebagai pesan politik, lalu mengemasnya dalam sebuah iklan yang menggambarkan kekayaan alam Indonesia serta ketokohan Soekarno. Iklan dari Rizal ternyata tidak terlalu memukau publik, popularitas Rizal dua bulan lalu hanya mencapai 13 persen menurut survei Lembaga Riset Indonesia (LRI), jauh di bawah para tokoh politik nasional yang lain. Publik juga tidak terlalu mengingat slogan “Generasi baru, harapan baru”.
Partai incumbent tidak mau ketinggalan. Partai Demokrat (PD) turut beriklan dengan menggusung pesan “Lanjutkan!” . Partai demokrat, dalam iklan politiknya, mengingatkan publik akan berbagai keberhasilan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, seperti pertumbuhan ekonomi 6 persen setiap tahun, cadangan devisa 57 miliar, dan pelunasan hutang negara. Pesan “Lanjutkan!” yang dirancang untuk memancing simpati masyarakat dalam mendukung partai incumbent, kurang memberikan pengaruh mendalam. Berdasarkan survei LSI, memori publik terhadap iklan PD masih berada di bawah iklan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra).
Mantra Iklan “Gerindra!”
Di Indonesia, Iklan politik masih lemah dalam menstimulasi emosi publik. Iklan politik lokal lebih mengutamakan estetika yang indah dan jargon-jargon yang mudah diingat. “Hidup adalah perbuatan”, “Generasi baru, harapan baru”, dan “Lanjutkan!” merupakan contoh-contoh dari pendekatan iklan politik yang tidak fokus dalam menggali emosi audiens. Terbukti melalu berbagai survei, pengaruh iklan-iklan tersebut hingga saat ini tidak terlalu signifikan. Sejauh ini, Gerindra menjadi satu-satunya partai yang membidik emosi publik dalam iklannya.
“Gerindra..Gerindra..Gerindra!” adalah tiga kata yang diucapkan dengan intonasi meninggi oleh suara seorang wanita di akhir iklan politik Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Tiga kata tersebut berhasil menjadi sebuah mantra politik bagi Gerindra. Pasalnya, September lalu , popularitas dari Gerindra melejit sampai 65 persen menurut Lembaga Survei Nasional (LSN). Publik juga menyambut iklan Gerindra dengan sikap yang positif. Memori publik terhadap iklan Gerindra berada pada ambang yang tinggi menurut lembaga survei Indonesia (LSI), yaitu 51 persen.Sentimen empatik terhadap petani dan gambaran akan kebangkitan Indonesia menjadi sebuah stimuli yang berhasil mendorong optimisme publik.
Iklan “Gerindra!”, sebagaimana “Yes we can” dari Obama, berpotensi untuk menjadi sebuah mantra psikologis bagi audiens di Indonesia. Stimulus emosi dari iklan “Gerindra” disampaikan melalui visualisasi semangat kerja para petani dan pekerja pasar, hal itu berpengaruh terhadap ranah emosi harap audiens. Suara seorang wanita yang menyerukan dengan intonasi semangat “Gerindra!” menjadi stimulus verbal yang turut memperkuat rangsangan emosi harap dari iklan tersebut. Para kompetitor dari partai Gerindra perlu menyadari bahwa besarnya intensitas dan keindahan sebuah iklan tidak selalu berkorelasi dengan preferensi publik. Jargon yang puitis tidak menjamin’ efek mantra’ bagi psikologi publik. Di sisi lain, visualisasi yang sinematik juga tidak menjamin munculnya ketergugahan. Sebab, pesan yang membidik emosi audiens adalah mantra iklan politik yang sesungguhnya.
Muhammad Faisal
Analis Psikologi Politik Charta Politika Indonesia, Mahasiswa S3 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
(telah dimuat dalam rubrik opini Republika)
Komentar
saya maya widiarini, saat ini edang menempuh s1 komunikasi ui.
begini mas saya ingin minta pendapat mas lebih lanjut tentang artikel kekuatan mantra ilan politik ini terutama ditinjau dari psikologi komunikasi, teori apa yang bisa digunkan?
terima kasih