Think like a scientist
Jenis-jenis Metode Berpikir
Kerlinger dan Lee (2005) mengatakan bahwa science (ilmu) adalah sebuah kata yang sering kali disalah pahami oleh banyak orang. Bahkan, terdapat sebuah stereotipy yang terbentuk terhadap makna science dan scientist. Sebagai contoh, hal pertama yang tampil di benak kita ketika disebut kata science serta scientist adalah laboratorium, seseorang dengan baju lab putih, mikroskop, dll. Hal lain yang mungkin muncul di benak seseorang ketika disebut kata science adalah individu yang merenungi dan memikirkan permasalahan-permasalahan falsafah hidup, serta membaca buku-buku tebal dan rumit. Hal terakhir yang sering diasosiasikan dengan science adalah ilmu yang terkait dengan penemuan-penemuan mutakhir dalam bidang teknologi. Apakah anggapan serta stereotipy kita mengenai science telah sesuai dengan realitas yang sesungguhnya? Atau kita belum memahami makna dari science itu sendiri.
Actually, seorang scientist tidak harus berada di sebuah lab eksperimen dan menggunakan sebuah jubah putih, ia tidak selalu berkumpul bersama buku-buku tebal, apalagi menciptakan teknologi-teknologi yang mutakhir. Akan tetapi, seorang scientist bisa juga duduk bersama pedagang-pedagang di pasar, atau berbincang-bincang dengan sekelompok masyarakat yang berkumpul di sebuah tempat. Scientist yang berinteraksi dengan masyarakat dalam kegiatan ilmiahnya adalah scientist-scientist dalam bidang sosial. Psikologi adalah salah satu bagian dari ilmu pengetahuan sosial. Oleh sebab itu, anda para pembaca sedang menempuh sebuah perjalanan akademis untuk menjadi seorang scientist in psychological science.
Untuk menjadi seorang scientist dalam bidang psikologi kita harus terlebih dahulu memahami kegiatan yang dilakukan di bidang tersebut, secara lebih mendasar kita harus “Think like a scientist”. Helmstader (dalam Seniati et al, 2005) membagi metode untuk memperoleh pengetahuan menjadi enam, metode yang pertama adalah tenacy. Tenacy adalah cara untuk memperoleh pengetahuan dengan berdasarkan pada hal-hal yang bersifat takhyul “supersticious” atau kebiasaan “habit”. Sebagai contoh: secara rasional dan ilmiah kita sudah mengetahui bahwa mayat orang yang sudah wafat tidak dapat bergerak, bernafas, berfikir, apalagi mencelakakan orang lain. Akan tetapi ketika kita diminta untuk duduk bersama mayat manusia selama satu malam, kita akan merasakan perasaan takut yang luar biasa. Hal ini terjadi karena adanya pengetahuan tenacy bahwa mayat itu dapat hidup, menjadi zombie, hantu, atau melakukan hal-hal yang membahayakan keselamatan jiwa kita. Pengetahuan seperti ini harus dihindari oleh seorang scientist.
Metode pengetahuan kedua adalah pengetahuan yang diperoleh melalui otoritas tertentu. Kita bisa dapati di Indonesia banyak sekali peristiwa kemanusiaan dramatis yang terjadi karena seseorang sangat menggantungkan pengetahuannya kepada otoritas tertentu. Seperti kasus pengeboman Bali pada tahun 2002, dimana peristiwa tersebut terjadi karena adanya orang-orang yang diyakinkan oleh pemimpinnya bahwa dengan meledakkan diri, mereka akan masuk surga lewat jalur pintas tanpa peradilan tuhan, walaupun dengan hal tersebut mereka membunuh ratusan manusia yang tidak bersalah. Metode pengetahuan seperti ini juga harus ditinggalkan oleh seorang scientist.
Intuisi adalah metode pengetahuan lain yang sering kali digunakan oleh manusia untuk memperoleh ilmu. Epistemologi dari intuisi sendiri memiliki pola yang berbeda dengan metode pengetahuan lainnya. Dalam mengambil keputusan untuk memilih pasangan hidup misalnya, kita bisa dapati pada banyak orang bahwa metode yang digunakan adalah intuisi. Oleh sebab itu muncul istilah “love at first sight” dalam memilih pasangan hidup. Metode ini lantas disingkirkan dari wacana ilmiah karena terlalu sulit untuk diverifikasi secara empiris.
Rasionalisme dan empirisisme adalah dua metode lain yang tumbuh serta berkembang di barat. Rasionalisme tumbuh dari akar ilmu falsafah, dimana alat ilmiah yang digunakan adalah akal. Sebagai contoh, seorang ahli politik bisa saja memprediksi bahwa pada tahun 2007 partai Golkar tidak akan memperoleh suara banyak dalam pemilu, karena kebanyakan dari anggotanya merupakan pelaku korupsi. Akan tetapi pernyataan itu hanya sebuah penalaran saja yang bisa jadi benar namun bisa juga salah. Mungkin saja, ketika dilakukan sebuah survey di masyarakat ditemukan bahwa partai Golkar tetap memiliki suara dan pengaruh yang besar. Oleh sebab itu, muncul metode empirisisme sebagai pelengkap metode rasionalisme, dimana di dalam metode ini digunakan alat ukur untuk memverifikasi data dari lapangan. Proses berpikir ilmiah merupakan gabungan antara dua metode berpikir yaitu, rasionalisme dan empirisisme.
Perbedaan Awam dengan Scientist
Perbedaan antara kedua hal diatas merupakan sesuatu yang harus disadari oleh setiap ilmuwan, termasuk para psikolog. Sebab, jika kita tidak bisa membedakan antara keduanya, kita tidak mengetahui posisi kita sebagai ilmuwan, lalu kita juga bisa jadi terjebak di dalam proses berpikir awam. Satu hal yang membedakan secara dramatis antara seorang awam dengan ilmuwan adalah metode yang digunakan. Sebagai contoh, pendapat awam mengatakan bahwa dengan semakin banyaknya tayangan sinetron religius di televisi, maka perilaku ibadah masyarakat akan semakin meningkat. Secara sepintas pendapat ini terlihat logis dan benar. Namun, bagi seorang ilmuwan pendapat itu harus dibuktikan melalui serangkaian metodologi ilmiah. Neuwman (2006) mengatakan bahwa metodologi ilmiah adalah “Ide, aturan, teknik, dan pendekatan yang digunakan oleh komunitas ilmiah untuk menyusun dan mengevaluasi pengetahuan”. Dengan demikian, untuk mengevaluasi pendapat yang mengatakan bahwa terdapat pengaruh positif dari tanyangan sinetron religius terhadap masyarakat, seorang peneliti harus terlebih dahulu melakukan diferensiasi terhadap sinetron-sinetron religius yang ada, lalu pada saat apa tayangan tersebut ditampilkan, sebab jika ditampilkan pada bulan ramadhan sudah tentu masyarakat sedang intensif melakukan ibadah. Meningkatnya perilaku ibadah bisa jadi bukan disebabkan oleh tayangan sinetron, akan tetapi disebabkan oleh animo yang muncul di bulan ramadhan.
Selain menggunakan sebuah metodologi ilmiah, seorang lmuwan juga dituntut untuk memiliki sikap ilmiah (scientific attitudes). Sikap ilmiah adalah sebuah cara berpikir dan memandang dunia yang merefleksikan sebuah komitmen terhadap norma dan nilai yang dianut di dalam komunitas ilmiah. Beberapa norma yang terdapat di dalam komunitas ilmiah menurut Neuman (2006) adalah:
1. Universalisme. Melihat sesuatu sebagaimana adanya tanpa membawa penilaian subyektif.
2. Organized skepticism. Setiap pendapat dan ide selayaknya dikritisi dan diuji dengan menggunakan metode yang ilmiah. Seorang ilmuwan hendaknya mengkritisi permasalahan bukan mengkritisi individu.
3. Disinterestedness. Seorang ilmuwan harus netral, imparsial, dan terbukan terhadap ide-ide baru.
4. Communalism. Pengetahuan ilmiah harus disampaikan kepada khalayak umum, sebab pengetahuan tersebut bukan milik individu.
5. Honesty . Ketidakjujuran atau plagiasi merupakan sesuatu yang menghinakan di dalam dunia ilmiah.
Eksplanasi Ilmiah
Dalam menjelaskan sebuah fenomena seperti perilaku, seorang ilmuwan memiliki cara yang berbeda dengan orang awam. Seorang ilmuwan menjelaskan dengan menggunakan observasi yang obyektif, logika, dan teruji secara empiris. Bordens dan Abbot (2005) menyebutkan beberapa karakteristik dari penjelasan ilmiah, yaitu:
1. Empiris. Yaitu penjelasan yang dapat diukur dan dilihat buktinya.
2. Rasional. Yaitu penjelasan yang mengikuti cara berpikir logis dan sesuai dengan penalaran yang diketahuai secara umum.
3. Testable. Yaitu penjelasan yang dapat diuji ulang dan diverifikasi.
4. Parsimony. Yaitu penjelasan yang bersifat sederhana dalam menjelaskan sebuah gejala.
5. General. Yaitu penjelasan yang meliputi area perilaku yang luas (hal ini hanya berlaku untuk sebuah penelitian kuantitatif)
6. Tentative. Yaitu Penjelasan yang terbuka terhadap kesalahan dan kekurangan.
7. Rigorously evaluated. Yaitu penjelasan yang selalu mendapatkan evaluasi dan penilaian dari sesama ilmuwan.
Gitu Aja Kok Repot-repot!! (Gus Pur, Republik Mimpi)
Mengapa harus repot-repot mempelajari cara berpikir ilmiah sedangkan anda (para pembaca) belum tentu memiliki intensi untuk menjadi seorang ilmuwan? Seakan-akan menjadi ilmuwan adalah sesuatu yang ribet, dan identik dengan menjadi nerds atau kutu buku. Akan tetapi, yang perlu anda ketahui adalah bahwa setiap hari anda ditantang oleh berbagai kondisi dan informasi yang kian membludak. Seorang individu harus menseleksi dan memverifikasi begitu banyak informasi untuk dapat memperoleh pengetahuan yang benar. Di televisi anda bisa menemukan sebuah iklan produk susu yang mengatakan bahwa dua dari lima orang tua lansia terkena penyakit osteoporosis, apakah anda menerima informasi ini begitu saja?? Penelitian yang dilakukan oleh BUMN membuktikan bahwa mayoritas dari pengguna jalan tol merupakan penempuh jarak jauh, oleh sebab itu adalah sangat wajar jika pemerintah menerapkan tarif Jor sebesar Rp 6.000, apakah hasil informasi ini valid? Hasil sebuah penelitian internasional menyebutkan bahwa Indonesia menduduki posisi kedua dalam korupsi? Bagaimanakah pengetahuan ini diperoleh?
Jika menjadi ilmuwan memang bukan sesuatu yang anda idam-idamkan, paling tidak gunakanlah metode penelitian kuantitatif ini untuk keperluan hidup anda sehari-hari. Dengan anda berpikir secara ilmiah dan memiliki pengetahuan mengenai metodologi ilmiah anda dapat menyeleksi dan memverifikasi berbagai pengetahuan sehari-hari secara lebih akurat dan efektif, sehingga baik untuk keperluan sehari-hari atau untuk keperluan profesi anda kelak di sebuah perusahaan anda dapat mengabil sebuah keputusan secara tepat.
Daftar Referensi
Bordens, K. S & Abbot, B. b. (2005). Research design and methods: aprocess approach 6th ed. McGraw Hill: New York.
Kerlinger, F.N. (2000). Foundations of behavioral research. Harcourt College Publisher: USA.
Neuman, W.L. (2006). Social research methods: qualitative and quantitative approaches.Pearson International Edition: USA.
Seniati, L, Yulianto, A & Setiadi, B.N. (2005). Psikologi eksperimen. PT Indeks kelompok Gramedia: Jakarta.
Muhammad Faisal
Kerlinger dan Lee (2005) mengatakan bahwa science (ilmu) adalah sebuah kata yang sering kali disalah pahami oleh banyak orang. Bahkan, terdapat sebuah stereotipy yang terbentuk terhadap makna science dan scientist. Sebagai contoh, hal pertama yang tampil di benak kita ketika disebut kata science serta scientist adalah laboratorium, seseorang dengan baju lab putih, mikroskop, dll. Hal lain yang mungkin muncul di benak seseorang ketika disebut kata science adalah individu yang merenungi dan memikirkan permasalahan-permasalahan falsafah hidup, serta membaca buku-buku tebal dan rumit. Hal terakhir yang sering diasosiasikan dengan science adalah ilmu yang terkait dengan penemuan-penemuan mutakhir dalam bidang teknologi. Apakah anggapan serta stereotipy kita mengenai science telah sesuai dengan realitas yang sesungguhnya? Atau kita belum memahami makna dari science itu sendiri.
Actually, seorang scientist tidak harus berada di sebuah lab eksperimen dan menggunakan sebuah jubah putih, ia tidak selalu berkumpul bersama buku-buku tebal, apalagi menciptakan teknologi-teknologi yang mutakhir. Akan tetapi, seorang scientist bisa juga duduk bersama pedagang-pedagang di pasar, atau berbincang-bincang dengan sekelompok masyarakat yang berkumpul di sebuah tempat. Scientist yang berinteraksi dengan masyarakat dalam kegiatan ilmiahnya adalah scientist-scientist dalam bidang sosial. Psikologi adalah salah satu bagian dari ilmu pengetahuan sosial. Oleh sebab itu, anda para pembaca sedang menempuh sebuah perjalanan akademis untuk menjadi seorang scientist in psychological science.
Untuk menjadi seorang scientist dalam bidang psikologi kita harus terlebih dahulu memahami kegiatan yang dilakukan di bidang tersebut, secara lebih mendasar kita harus “Think like a scientist”. Helmstader (dalam Seniati et al, 2005) membagi metode untuk memperoleh pengetahuan menjadi enam, metode yang pertama adalah tenacy. Tenacy adalah cara untuk memperoleh pengetahuan dengan berdasarkan pada hal-hal yang bersifat takhyul “supersticious” atau kebiasaan “habit”. Sebagai contoh: secara rasional dan ilmiah kita sudah mengetahui bahwa mayat orang yang sudah wafat tidak dapat bergerak, bernafas, berfikir, apalagi mencelakakan orang lain. Akan tetapi ketika kita diminta untuk duduk bersama mayat manusia selama satu malam, kita akan merasakan perasaan takut yang luar biasa. Hal ini terjadi karena adanya pengetahuan tenacy bahwa mayat itu dapat hidup, menjadi zombie, hantu, atau melakukan hal-hal yang membahayakan keselamatan jiwa kita. Pengetahuan seperti ini harus dihindari oleh seorang scientist.
Metode pengetahuan kedua adalah pengetahuan yang diperoleh melalui otoritas tertentu. Kita bisa dapati di Indonesia banyak sekali peristiwa kemanusiaan dramatis yang terjadi karena seseorang sangat menggantungkan pengetahuannya kepada otoritas tertentu. Seperti kasus pengeboman Bali pada tahun 2002, dimana peristiwa tersebut terjadi karena adanya orang-orang yang diyakinkan oleh pemimpinnya bahwa dengan meledakkan diri, mereka akan masuk surga lewat jalur pintas tanpa peradilan tuhan, walaupun dengan hal tersebut mereka membunuh ratusan manusia yang tidak bersalah. Metode pengetahuan seperti ini juga harus ditinggalkan oleh seorang scientist.
Intuisi adalah metode pengetahuan lain yang sering kali digunakan oleh manusia untuk memperoleh ilmu. Epistemologi dari intuisi sendiri memiliki pola yang berbeda dengan metode pengetahuan lainnya. Dalam mengambil keputusan untuk memilih pasangan hidup misalnya, kita bisa dapati pada banyak orang bahwa metode yang digunakan adalah intuisi. Oleh sebab itu muncul istilah “love at first sight” dalam memilih pasangan hidup. Metode ini lantas disingkirkan dari wacana ilmiah karena terlalu sulit untuk diverifikasi secara empiris.
Rasionalisme dan empirisisme adalah dua metode lain yang tumbuh serta berkembang di barat. Rasionalisme tumbuh dari akar ilmu falsafah, dimana alat ilmiah yang digunakan adalah akal. Sebagai contoh, seorang ahli politik bisa saja memprediksi bahwa pada tahun 2007 partai Golkar tidak akan memperoleh suara banyak dalam pemilu, karena kebanyakan dari anggotanya merupakan pelaku korupsi. Akan tetapi pernyataan itu hanya sebuah penalaran saja yang bisa jadi benar namun bisa juga salah. Mungkin saja, ketika dilakukan sebuah survey di masyarakat ditemukan bahwa partai Golkar tetap memiliki suara dan pengaruh yang besar. Oleh sebab itu, muncul metode empirisisme sebagai pelengkap metode rasionalisme, dimana di dalam metode ini digunakan alat ukur untuk memverifikasi data dari lapangan. Proses berpikir ilmiah merupakan gabungan antara dua metode berpikir yaitu, rasionalisme dan empirisisme.
Perbedaan Awam dengan Scientist
Perbedaan antara kedua hal diatas merupakan sesuatu yang harus disadari oleh setiap ilmuwan, termasuk para psikolog. Sebab, jika kita tidak bisa membedakan antara keduanya, kita tidak mengetahui posisi kita sebagai ilmuwan, lalu kita juga bisa jadi terjebak di dalam proses berpikir awam. Satu hal yang membedakan secara dramatis antara seorang awam dengan ilmuwan adalah metode yang digunakan. Sebagai contoh, pendapat awam mengatakan bahwa dengan semakin banyaknya tayangan sinetron religius di televisi, maka perilaku ibadah masyarakat akan semakin meningkat. Secara sepintas pendapat ini terlihat logis dan benar. Namun, bagi seorang ilmuwan pendapat itu harus dibuktikan melalui serangkaian metodologi ilmiah. Neuwman (2006) mengatakan bahwa metodologi ilmiah adalah “Ide, aturan, teknik, dan pendekatan yang digunakan oleh komunitas ilmiah untuk menyusun dan mengevaluasi pengetahuan”. Dengan demikian, untuk mengevaluasi pendapat yang mengatakan bahwa terdapat pengaruh positif dari tanyangan sinetron religius terhadap masyarakat, seorang peneliti harus terlebih dahulu melakukan diferensiasi terhadap sinetron-sinetron religius yang ada, lalu pada saat apa tayangan tersebut ditampilkan, sebab jika ditampilkan pada bulan ramadhan sudah tentu masyarakat sedang intensif melakukan ibadah. Meningkatnya perilaku ibadah bisa jadi bukan disebabkan oleh tayangan sinetron, akan tetapi disebabkan oleh animo yang muncul di bulan ramadhan.
Selain menggunakan sebuah metodologi ilmiah, seorang lmuwan juga dituntut untuk memiliki sikap ilmiah (scientific attitudes). Sikap ilmiah adalah sebuah cara berpikir dan memandang dunia yang merefleksikan sebuah komitmen terhadap norma dan nilai yang dianut di dalam komunitas ilmiah. Beberapa norma yang terdapat di dalam komunitas ilmiah menurut Neuman (2006) adalah:
1. Universalisme. Melihat sesuatu sebagaimana adanya tanpa membawa penilaian subyektif.
2. Organized skepticism. Setiap pendapat dan ide selayaknya dikritisi dan diuji dengan menggunakan metode yang ilmiah. Seorang ilmuwan hendaknya mengkritisi permasalahan bukan mengkritisi individu.
3. Disinterestedness. Seorang ilmuwan harus netral, imparsial, dan terbukan terhadap ide-ide baru.
4. Communalism. Pengetahuan ilmiah harus disampaikan kepada khalayak umum, sebab pengetahuan tersebut bukan milik individu.
5. Honesty . Ketidakjujuran atau plagiasi merupakan sesuatu yang menghinakan di dalam dunia ilmiah.
Eksplanasi Ilmiah
Dalam menjelaskan sebuah fenomena seperti perilaku, seorang ilmuwan memiliki cara yang berbeda dengan orang awam. Seorang ilmuwan menjelaskan dengan menggunakan observasi yang obyektif, logika, dan teruji secara empiris. Bordens dan Abbot (2005) menyebutkan beberapa karakteristik dari penjelasan ilmiah, yaitu:
1. Empiris. Yaitu penjelasan yang dapat diukur dan dilihat buktinya.
2. Rasional. Yaitu penjelasan yang mengikuti cara berpikir logis dan sesuai dengan penalaran yang diketahuai secara umum.
3. Testable. Yaitu penjelasan yang dapat diuji ulang dan diverifikasi.
4. Parsimony. Yaitu penjelasan yang bersifat sederhana dalam menjelaskan sebuah gejala.
5. General. Yaitu penjelasan yang meliputi area perilaku yang luas (hal ini hanya berlaku untuk sebuah penelitian kuantitatif)
6. Tentative. Yaitu Penjelasan yang terbuka terhadap kesalahan dan kekurangan.
7. Rigorously evaluated. Yaitu penjelasan yang selalu mendapatkan evaluasi dan penilaian dari sesama ilmuwan.
Gitu Aja Kok Repot-repot!! (Gus Pur, Republik Mimpi)
Mengapa harus repot-repot mempelajari cara berpikir ilmiah sedangkan anda (para pembaca) belum tentu memiliki intensi untuk menjadi seorang ilmuwan? Seakan-akan menjadi ilmuwan adalah sesuatu yang ribet, dan identik dengan menjadi nerds atau kutu buku. Akan tetapi, yang perlu anda ketahui adalah bahwa setiap hari anda ditantang oleh berbagai kondisi dan informasi yang kian membludak. Seorang individu harus menseleksi dan memverifikasi begitu banyak informasi untuk dapat memperoleh pengetahuan yang benar. Di televisi anda bisa menemukan sebuah iklan produk susu yang mengatakan bahwa dua dari lima orang tua lansia terkena penyakit osteoporosis, apakah anda menerima informasi ini begitu saja?? Penelitian yang dilakukan oleh BUMN membuktikan bahwa mayoritas dari pengguna jalan tol merupakan penempuh jarak jauh, oleh sebab itu adalah sangat wajar jika pemerintah menerapkan tarif Jor sebesar Rp 6.000, apakah hasil informasi ini valid? Hasil sebuah penelitian internasional menyebutkan bahwa Indonesia menduduki posisi kedua dalam korupsi? Bagaimanakah pengetahuan ini diperoleh?
Jika menjadi ilmuwan memang bukan sesuatu yang anda idam-idamkan, paling tidak gunakanlah metode penelitian kuantitatif ini untuk keperluan hidup anda sehari-hari. Dengan anda berpikir secara ilmiah dan memiliki pengetahuan mengenai metodologi ilmiah anda dapat menyeleksi dan memverifikasi berbagai pengetahuan sehari-hari secara lebih akurat dan efektif, sehingga baik untuk keperluan sehari-hari atau untuk keperluan profesi anda kelak di sebuah perusahaan anda dapat mengabil sebuah keputusan secara tepat.
Daftar Referensi
Bordens, K. S & Abbot, B. b. (2005). Research design and methods: aprocess approach 6th ed. McGraw Hill: New York.
Kerlinger, F.N. (2000). Foundations of behavioral research. Harcourt College Publisher: USA.
Neuman, W.L. (2006). Social research methods: qualitative and quantitative approaches.Pearson International Edition: USA.
Seniati, L, Yulianto, A & Setiadi, B.N. (2005). Psikologi eksperimen. PT Indeks kelompok Gramedia: Jakarta.
Muhammad Faisal
Komentar