Terror kejiwaan setelah terror atas jiwa
Harapan untuk hidup di Indonesia semakin rendah, kondisi alam dan fasilitas publikpun semakin menerror keselamatan jiwa. Belum lagi berbagai kriminalitas serta konflik etno-religius yang tak kunjung usai. Akumulasi terror ini tanpa disadari telah menyusup ke dalam jiwa dan mengubah terror atas jiwa menjadi sebuah terror kejiwaan.
“Mortality Salience” sebuah Terror ‘Kejiwaan’
Manusia adalah makhluk yang memiliki kesadaran diri (self conscious), dengan kesadaran tersebut manusia akan selalu teringat terhadap dua hal, yaitu bahwa ia hidup dan bahwa ia pasti akan menemui kematian. Pada sebagian besar manusia, kesadaran hidup yang dimiliki lebih dominan dibandingkan dengan kesadaran kematian. Jika hidup adalah sesuatu yang bisa diarahkan dan diantisipasi dalam batas tertentu, kematian adalah kebalikannya. Atau dengan kata lain, hidup bekerja dengan regulasi tertentu, sedangkan kematian bekerja secara random. Oleh sebab itu, ketika mengingat kematian manusia takut, resah, dan merasa tidak nyaman. Ide tentang kematian kerap diabaikan, dilupakan, atau dipendam dalam ketidaksadaran.
Tampilnya berbagai drama kecelakaan dan bencana alam di panggung derita Indonesia, mau tidak mau, membuat masyarakat semakin peka terhadap kematian. Jika hujan deras datang yang terpikir adalah banjir, jika terasa getaran di dalam rumah yang terpikir adalah gempa, jika bepergian lewat udara, laut, dan udara yang terpikir adalah kecelakaan, jika jalan ke mal yang terpikir adalah bom. Teori manajemen terror menyebut gejala ini sebagai mortality salience, yaitu ide tentang kematian yang menjadi aktual di dalam pikiran manusia. Mortality salience jika tidak didukung dengan kecerdasan tertentu dapat menjadi sumber stress, bahkan depresi pada diri manusia.
Kecerdasan Menghadapi Kematian
Jika pada bidang akademis kita bisa temukan adanya IQ (intelligence quotient), lalu pada bidang emosi adanya EQ (emotional quotient), dan pada bidang spiritualitas adanya SQ (spiritual quotient), maka saat ini masyarakat membutuhkan kecerdasan yang baru yaitu MQ (mortality quotient). MQ adalah kecerdasan mental untuk mengatasi berbagai terror atas jiwa yang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk memiliki mortality quotient yang baik manusia pertama-tama harus mampu untuk memahami kembali keyakinan dan pandangan dunia yang dimilikinya. Pemahaman yang baik mengenai pandangan dunia akan memberi manusia sebuah instrumen untuk menginterpretasi dan mengorganisasi berbagai peristiwa kehidupan secara lebih koheren. Agama bisa mengambil peran disini, akan tetapi bukan sebagai serangkaian ritual dan dogma. Namun, sebagai serangkaian jawaban rasional bagi manusia dan solusi yang bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, manusia harus mampu memahami eksistensi dan realitas setelah kematian. Melalui pemahaman tersebut manusia akan memiliki perasaan imortalitas di dalam dirinya, dan transendensi dengan kehidupan itu sendiri. Ketiga, manusia harus mampu mengubah makna ‘kematian’ dari sebuah terror menjadi pemacu kepercayaan diri, sebagaimana dikatakan Victor Frankl “meaning through suffering”. Ingatan tentang kematian harus ditransformasikan menjadi dorongan untuk melakukan kegiatan-kegiatan bermakna dalam hidup, bukan menjadi kunci pintu keputuasaan.
Relasi Kematian-Kearifan
Usaha untuk meningkatkan mortality quotient akan membantu manusia memberi jawaban terhadap tiga pertanyaan eksistensial “Dari mana diriku?”, “Dimana diriku?”, dan “Kemana aku menuju?”. Hasil dari usaha tersebut adalah munculnya kearifan dalam diri manusia untuk menghadapi ide kematian, atau bahkan kematian itu sendiri. Ketika kearifan sudah aktual dalam diri manusia, maka kebahagiaan hidup akan lebih mudah didapatkan. Berbagai penelitian dalam bidang psikologi positif membuktikan hal tersebut, dimana ditemukan adanya hubungan yang signifikan antara kearifan dan kebahagiaan hidup.
Kearifan dan kebahagiaan mental yang telah berhasil dicapai oleh manusia tidak akan menjadikan diri manusia itu lemah, egois, atau individualistik. Akan tetapi, menjadikan diri manusia empatik terhadap berbagai fenomena hidup. Alih-alih pasrah dan memaksa diri untuk selalu ‘nerimo’ terhadap bala yang melanda, individu akan proaktif mengembangkan diri dan lingkungannya.
Kita tidak perlu menunggu pemerintah untuk ambil peduli akan kondisi mental masyarakat, karena pemerintah sendiri meyakini bahwa kebahagiaan hanya melibatkan reformasi sistem dan struktur sosio-politik. Kini, kita harus berusaha mencapai kebahagian dan kearifan melalui reformasi intrapersonal (dalam diri), sehingga terror atas jiwa tidak lagi menjadi terror kejiwaan.
Muhammad Faisal
“Mortality Salience” sebuah Terror ‘Kejiwaan’
Manusia adalah makhluk yang memiliki kesadaran diri (self conscious), dengan kesadaran tersebut manusia akan selalu teringat terhadap dua hal, yaitu bahwa ia hidup dan bahwa ia pasti akan menemui kematian. Pada sebagian besar manusia, kesadaran hidup yang dimiliki lebih dominan dibandingkan dengan kesadaran kematian. Jika hidup adalah sesuatu yang bisa diarahkan dan diantisipasi dalam batas tertentu, kematian adalah kebalikannya. Atau dengan kata lain, hidup bekerja dengan regulasi tertentu, sedangkan kematian bekerja secara random. Oleh sebab itu, ketika mengingat kematian manusia takut, resah, dan merasa tidak nyaman. Ide tentang kematian kerap diabaikan, dilupakan, atau dipendam dalam ketidaksadaran.
Tampilnya berbagai drama kecelakaan dan bencana alam di panggung derita Indonesia, mau tidak mau, membuat masyarakat semakin peka terhadap kematian. Jika hujan deras datang yang terpikir adalah banjir, jika terasa getaran di dalam rumah yang terpikir adalah gempa, jika bepergian lewat udara, laut, dan udara yang terpikir adalah kecelakaan, jika jalan ke mal yang terpikir adalah bom. Teori manajemen terror menyebut gejala ini sebagai mortality salience, yaitu ide tentang kematian yang menjadi aktual di dalam pikiran manusia. Mortality salience jika tidak didukung dengan kecerdasan tertentu dapat menjadi sumber stress, bahkan depresi pada diri manusia.
Kecerdasan Menghadapi Kematian
Jika pada bidang akademis kita bisa temukan adanya IQ (intelligence quotient), lalu pada bidang emosi adanya EQ (emotional quotient), dan pada bidang spiritualitas adanya SQ (spiritual quotient), maka saat ini masyarakat membutuhkan kecerdasan yang baru yaitu MQ (mortality quotient). MQ adalah kecerdasan mental untuk mengatasi berbagai terror atas jiwa yang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk memiliki mortality quotient yang baik manusia pertama-tama harus mampu untuk memahami kembali keyakinan dan pandangan dunia yang dimilikinya. Pemahaman yang baik mengenai pandangan dunia akan memberi manusia sebuah instrumen untuk menginterpretasi dan mengorganisasi berbagai peristiwa kehidupan secara lebih koheren. Agama bisa mengambil peran disini, akan tetapi bukan sebagai serangkaian ritual dan dogma. Namun, sebagai serangkaian jawaban rasional bagi manusia dan solusi yang bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, manusia harus mampu memahami eksistensi dan realitas setelah kematian. Melalui pemahaman tersebut manusia akan memiliki perasaan imortalitas di dalam dirinya, dan transendensi dengan kehidupan itu sendiri. Ketiga, manusia harus mampu mengubah makna ‘kematian’ dari sebuah terror menjadi pemacu kepercayaan diri, sebagaimana dikatakan Victor Frankl “meaning through suffering”. Ingatan tentang kematian harus ditransformasikan menjadi dorongan untuk melakukan kegiatan-kegiatan bermakna dalam hidup, bukan menjadi kunci pintu keputuasaan.
Relasi Kematian-Kearifan
Usaha untuk meningkatkan mortality quotient akan membantu manusia memberi jawaban terhadap tiga pertanyaan eksistensial “Dari mana diriku?”, “Dimana diriku?”, dan “Kemana aku menuju?”. Hasil dari usaha tersebut adalah munculnya kearifan dalam diri manusia untuk menghadapi ide kematian, atau bahkan kematian itu sendiri. Ketika kearifan sudah aktual dalam diri manusia, maka kebahagiaan hidup akan lebih mudah didapatkan. Berbagai penelitian dalam bidang psikologi positif membuktikan hal tersebut, dimana ditemukan adanya hubungan yang signifikan antara kearifan dan kebahagiaan hidup.
Kearifan dan kebahagiaan mental yang telah berhasil dicapai oleh manusia tidak akan menjadikan diri manusia itu lemah, egois, atau individualistik. Akan tetapi, menjadikan diri manusia empatik terhadap berbagai fenomena hidup. Alih-alih pasrah dan memaksa diri untuk selalu ‘nerimo’ terhadap bala yang melanda, individu akan proaktif mengembangkan diri dan lingkungannya.
Kita tidak perlu menunggu pemerintah untuk ambil peduli akan kondisi mental masyarakat, karena pemerintah sendiri meyakini bahwa kebahagiaan hanya melibatkan reformasi sistem dan struktur sosio-politik. Kini, kita harus berusaha mencapai kebahagian dan kearifan melalui reformasi intrapersonal (dalam diri), sehingga terror atas jiwa tidak lagi menjadi terror kejiwaan.
Muhammad Faisal
Komentar