Melintasi budaya bersama psikologi
Psikologi adalah salah satu ilmu sosial yang lahir serta dibesarkan oleh ilmuwan barat. Konsekuensi dari hal tersebut adalah terbentuknya nuansa ilmu sosial yang memandang manusia dengan kacamata barat. Di dalam berbagai teori serta prinsip-prinsip ilmu psikologi kita bisa menemukan adanya nuansa epirisisme yang sangat tegas, dimana spiritualitas dan metafisik dianggap sebagai sesuatu yang tidak ilmiah.
Kini, kita bisa melihat bahwa psikologi didominasi oleh 2 benua yaitu Amerika dan Eropa, dimana para psikolog Amerika memilih paradigma behavioristik dalam menjelaskan perilaku manusia, sedangkan Eropa memberi nuansa yang lebih subyektif dan humanistik dalam mendeskripsikan perilaku. Indonesia sebagai sebuah bangsa yang baru merasakan kemerdekaan hak serta kemerdekaan ilmiah selama 62 tahun tidak memiliki pilihan selain mengadopsi prinsip-prinsip ilmiah yang sudah dikembangkan oleh negara-negara barat. Psikologi termasuk salah satu dari cabang ilmu yang diadopsi oleh Indonesia untuk menjelaskan perilaku manusia yang terjadi di masyarakat lokal.
Adopsi dari pandangan-pandangan barat mengenai perilaku manusia ternyata menimbulkan sebuah masalah tersendiri. Pandangan praktis-behavioristik mengenai manusia yang digunakan oleh Amerika ternyata tidak selalu sesuai dengan budaya timur, . Sebagai contoh, sebuah penelitian yang dilakukan oleh Paul Ekman dkk mengenai perayaan asyura di Iran, ternyata tidak berhasil untuk menangkap esensi perilaku kelompok tersebut. Tangisan-tangisan dari pengikut ritual tersebut yang merupakan ungkapan spiritual, didokumentasikan oleh Ekman sebagai sebuah perilaku yang aneh dan menyimpang.
Pandangan psikologi barat juga akan mendapatkan kesulitan ketika menjelaskan perilaku-perilaku sosial masyarakat Indonesia. Sebagai contoh, kita bisa temukan di masyarakat barat bahwa penggunaan handphone adalah untuk kepentingan praktis manusia dalam berkomunikasi. Oleh sebab itu, masyarakat barat cenderung memilih sebuah hp berdasarkan utilities yang dimilikinya, mereka tidak akan mengganti hp sebelum muncul kebutuhan praktis yang baru. Sedangkan, di Indonesia kita bisa dapati bahwa sebuah handphone bukan hanya berfungsi secara praktis dalam kehidupan sehari-hari, akan tetapi ia juga berfungsi sebagai simbol status sosial. Dimana, seseorang dengan handphone terbaru menandakan bahwa ia memiliki status sosial serta profesi yang tinggi. Oleh sebab itu kita bisa dapati besarnya konsumsi dan cepatnya pergantian hp pada masyarakat Indonesia. Jika kita menggunakan katacamata psikologi barat dalam menjelaskan fenomenon ini, kita akan dapati penjelasan yang mengatakan bahwa orang Indonesia adalah orang yang irasional serta konsumtif.
Contoh lain yang bisa diambil perihal variasi perilaku antar budaya adalah perilaku individu di dalam ruang publik. Di negara eropa sebagaimana Perancis kita bisa menemukan bahwa ruang publik adalah ruang yang memiliki batasan serta norma tersendiri. Bahkan, ruang publik tersebut dibatasi oleh hukum negara, dimana kita bisa dapati adanya hukum pidana mengenai hal-hal kecil seperti suara. Sementara itu, di Indonesia kita bisa dapati bahwa ruang publik adalah sebuah ruang tanpa batasan dan norma-norma tertentu. Kita bisa mendapati ruang publik, seperti jalan umum, sering digunakan untuk selametan, layar tancap, sampai panggung dangdut. Teori psikologi barat tentu akan memandang hal ini sebagai sebuah perilaku disturbing. Bahkan, hal tesebut ternyata ditoleransi serta disukai oleh masyarakat Indonesia. Perbedaan perilaku berdasarkan kultur ini mengharuskan adanya psikologi yang menelusuri apakah konsep-konsep serta teori yang dilahirkan oleh ilmuwan barat dapat digunakan pula di budaya lain.
Psikologi lintas budaya adalah ekstensi ilmu psikologi yang menaruh perhatian pada pengujian berbagai kemungkinan batas-batas pengetahuan dengan mempelajari orang-orang dari berbagai budaya yang berbeda. Dalam pengertian yang sempit sebuah penelitian lintas budaya adalah sebuah penelitian psikologi yang melibatkan partisipan dari berbagai latar belakang budaya. Sedangkan, dalam pengertian luas psikologi lintas budaya terkait dengan pemahaman apakan kebenaran dan prinsip-prinsip psikologis bersifat universal atau khas budaya (Matsumoto, 2000).
Di dalam bukunya Matsumoto (2000) juga menyertakan beberapa kebutuhan untuk mempelajari psikologi lintas budaya, yaitu:
• Adanya perubahan demografi masyarakat secara keseluruhan.
• Adanya perubahan demografi mahasiswa universitas.
• Adanya perubahan demografi pengajar dan peneliti psikologi.
• Adanya peningkatan kesadaran akan etnosentrisme.
• Adanya pengakuan akan nilai penting dan kegunaan penelitian lintas-budaya.
Sebelum kita memasuki lingkup psikologi lintas budaya kita perlu terlebih dahulu memahami makna dari budaya. Budaya tentunya adalah sebuah konsep yang tidak mudah untuk ditemukan makna dan definisinya. Akan tetapi kita bisa menemukan beberapa definisi dari para peneliti sosial yang kita bisa gunakan untuk kepentingan praktis ilmiah. Di dalam bahasa Indonesia, budaya berasal dari bahasa sansekerta yaitu buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata latin colere, yaitu mengolah atau mengerjakan, bisa juga diartikan sebagai mengolah tanah atau bertani. Barnouw (1985) menjelaskan budaya sebagai sekumpulan sikap, nilai, keyakinan, dan perilaku yang dimiliki bersama oleh sekelompok orang, yang dikomunikasikan dari satu generasi ke generasi berikutnya lewat bahasa atau beberapa sarana komunikasi lain.
Di dalam definisi yang diberikan oleh Barnouw (1985) budaya tidak terikat dengan suku maupun ras tertentu, dimana seseorang dengan keturunan sunda bisa jadi lebih menghayati budaya betawi dibandingkan dengan orang betawi sendiri. Selain itu, definisi tersebut juga tidak terikat dengan nasionalitas atau identitas kelompok berdasarkan tempat tinggal. Dimana seseorang yang tinggal di Jakarta belum tentu memahami, menghayati, dan mempraktekkan nilai-nilai serta prinsip-prinsip betawi. Dengan demikian, definisi yang diberikan Barnouw (1985) lebih melihat budaya sebagai sebuah konstruk sosiopsikologis yang bisa bersifat individual-psikologis serta sosial-makro.
Untuk lebih memahami prinsip-prinsip psikologi lintas-budaya adalah melalui penggunaan istilah etik dan emik. Etik mengacu pada temuan-temuan yang tampak konsisiten/ tetap di berbagai budaya; dengan kata lain, sebuah etik mengacu pada kebenaran atau prinsip yang universal (Matsumoto, 2000). Sebagai contoh, Paul Ekman pernah meneliti bentuk-bentuk ekspresi wajah di kelompok-kelompok pedalaman, ternyata dia menemukan bahwa beberapa ekspresi wajah seperti tersenyum bersifat universal di setiap budaya. Sedangkan Emik mengacu kepada temuan-temuan yang tampak berbeda untuk budaya yang berbeda; dengan demikian, sebuah emik mengacu pada kebenaran yang bersifat khas budaya (culture-spesific).
Konsep Etik dan Emik ini kini menjadi penting dalam menjelaskan sebuah fenomenon psikologis, karena jika tidak seorang peneliti psikologi akan terjebak di dalam bias budaya. Seorang psikolog bukanlah seorang manusia suci yang selalu memandang sesuatu secara obyektif dan benar, akan tetapi ia adalah seorang manusia yang mau tidak mau memiliki cara berpikir yang dipengaruhi oleh konteks sosial-budaya dimana ia berada. Seorang psikolog barat bisa saja menyimpulkan bahwa orang Indonesia adalah orang-orang yang tidak mengenal sopan santun atau memperhatikan estetika, karena kemana saja mereka pergi mereka menggunakan sandal. Padahal dari sudut pandang lokal (indegenous) menggunakan sandal adalah salah satu hal yang wajar-wajar saja ketika kita pergi ke sebuah ruang publik. Dengan demikian, pemahaman atas adanya Etik dan Emik perilaku akan membuka wawasan lebih baik mengenai perilaku manusia yang sangat terkait dengan budaya. Semoga pengantar ini bisa memberi gambaran serta memotivasi pembaca untuk mengarungi budaya bersama psikologi!
Daftar Referensi
Matsumoto, D .(2000). Pengantar psikologi lintas budaya. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Kini, kita bisa melihat bahwa psikologi didominasi oleh 2 benua yaitu Amerika dan Eropa, dimana para psikolog Amerika memilih paradigma behavioristik dalam menjelaskan perilaku manusia, sedangkan Eropa memberi nuansa yang lebih subyektif dan humanistik dalam mendeskripsikan perilaku. Indonesia sebagai sebuah bangsa yang baru merasakan kemerdekaan hak serta kemerdekaan ilmiah selama 62 tahun tidak memiliki pilihan selain mengadopsi prinsip-prinsip ilmiah yang sudah dikembangkan oleh negara-negara barat. Psikologi termasuk salah satu dari cabang ilmu yang diadopsi oleh Indonesia untuk menjelaskan perilaku manusia yang terjadi di masyarakat lokal.
Adopsi dari pandangan-pandangan barat mengenai perilaku manusia ternyata menimbulkan sebuah masalah tersendiri. Pandangan praktis-behavioristik mengenai manusia yang digunakan oleh Amerika ternyata tidak selalu sesuai dengan budaya timur, . Sebagai contoh, sebuah penelitian yang dilakukan oleh Paul Ekman dkk mengenai perayaan asyura di Iran, ternyata tidak berhasil untuk menangkap esensi perilaku kelompok tersebut. Tangisan-tangisan dari pengikut ritual tersebut yang merupakan ungkapan spiritual, didokumentasikan oleh Ekman sebagai sebuah perilaku yang aneh dan menyimpang.
Pandangan psikologi barat juga akan mendapatkan kesulitan ketika menjelaskan perilaku-perilaku sosial masyarakat Indonesia. Sebagai contoh, kita bisa temukan di masyarakat barat bahwa penggunaan handphone adalah untuk kepentingan praktis manusia dalam berkomunikasi. Oleh sebab itu, masyarakat barat cenderung memilih sebuah hp berdasarkan utilities yang dimilikinya, mereka tidak akan mengganti hp sebelum muncul kebutuhan praktis yang baru. Sedangkan, di Indonesia kita bisa dapati bahwa sebuah handphone bukan hanya berfungsi secara praktis dalam kehidupan sehari-hari, akan tetapi ia juga berfungsi sebagai simbol status sosial. Dimana, seseorang dengan handphone terbaru menandakan bahwa ia memiliki status sosial serta profesi yang tinggi. Oleh sebab itu kita bisa dapati besarnya konsumsi dan cepatnya pergantian hp pada masyarakat Indonesia. Jika kita menggunakan katacamata psikologi barat dalam menjelaskan fenomenon ini, kita akan dapati penjelasan yang mengatakan bahwa orang Indonesia adalah orang yang irasional serta konsumtif.
Contoh lain yang bisa diambil perihal variasi perilaku antar budaya adalah perilaku individu di dalam ruang publik. Di negara eropa sebagaimana Perancis kita bisa menemukan bahwa ruang publik adalah ruang yang memiliki batasan serta norma tersendiri. Bahkan, ruang publik tersebut dibatasi oleh hukum negara, dimana kita bisa dapati adanya hukum pidana mengenai hal-hal kecil seperti suara. Sementara itu, di Indonesia kita bisa dapati bahwa ruang publik adalah sebuah ruang tanpa batasan dan norma-norma tertentu. Kita bisa mendapati ruang publik, seperti jalan umum, sering digunakan untuk selametan, layar tancap, sampai panggung dangdut. Teori psikologi barat tentu akan memandang hal ini sebagai sebuah perilaku disturbing. Bahkan, hal tesebut ternyata ditoleransi serta disukai oleh masyarakat Indonesia. Perbedaan perilaku berdasarkan kultur ini mengharuskan adanya psikologi yang menelusuri apakah konsep-konsep serta teori yang dilahirkan oleh ilmuwan barat dapat digunakan pula di budaya lain.
Psikologi lintas budaya adalah ekstensi ilmu psikologi yang menaruh perhatian pada pengujian berbagai kemungkinan batas-batas pengetahuan dengan mempelajari orang-orang dari berbagai budaya yang berbeda. Dalam pengertian yang sempit sebuah penelitian lintas budaya adalah sebuah penelitian psikologi yang melibatkan partisipan dari berbagai latar belakang budaya. Sedangkan, dalam pengertian luas psikologi lintas budaya terkait dengan pemahaman apakan kebenaran dan prinsip-prinsip psikologis bersifat universal atau khas budaya (Matsumoto, 2000).
Di dalam bukunya Matsumoto (2000) juga menyertakan beberapa kebutuhan untuk mempelajari psikologi lintas budaya, yaitu:
• Adanya perubahan demografi masyarakat secara keseluruhan.
• Adanya perubahan demografi mahasiswa universitas.
• Adanya perubahan demografi pengajar dan peneliti psikologi.
• Adanya peningkatan kesadaran akan etnosentrisme.
• Adanya pengakuan akan nilai penting dan kegunaan penelitian lintas-budaya.
Sebelum kita memasuki lingkup psikologi lintas budaya kita perlu terlebih dahulu memahami makna dari budaya. Budaya tentunya adalah sebuah konsep yang tidak mudah untuk ditemukan makna dan definisinya. Akan tetapi kita bisa menemukan beberapa definisi dari para peneliti sosial yang kita bisa gunakan untuk kepentingan praktis ilmiah. Di dalam bahasa Indonesia, budaya berasal dari bahasa sansekerta yaitu buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata latin colere, yaitu mengolah atau mengerjakan, bisa juga diartikan sebagai mengolah tanah atau bertani. Barnouw (1985) menjelaskan budaya sebagai sekumpulan sikap, nilai, keyakinan, dan perilaku yang dimiliki bersama oleh sekelompok orang, yang dikomunikasikan dari satu generasi ke generasi berikutnya lewat bahasa atau beberapa sarana komunikasi lain.
Di dalam definisi yang diberikan oleh Barnouw (1985) budaya tidak terikat dengan suku maupun ras tertentu, dimana seseorang dengan keturunan sunda bisa jadi lebih menghayati budaya betawi dibandingkan dengan orang betawi sendiri. Selain itu, definisi tersebut juga tidak terikat dengan nasionalitas atau identitas kelompok berdasarkan tempat tinggal. Dimana seseorang yang tinggal di Jakarta belum tentu memahami, menghayati, dan mempraktekkan nilai-nilai serta prinsip-prinsip betawi. Dengan demikian, definisi yang diberikan Barnouw (1985) lebih melihat budaya sebagai sebuah konstruk sosiopsikologis yang bisa bersifat individual-psikologis serta sosial-makro.
Untuk lebih memahami prinsip-prinsip psikologi lintas-budaya adalah melalui penggunaan istilah etik dan emik. Etik mengacu pada temuan-temuan yang tampak konsisiten/ tetap di berbagai budaya; dengan kata lain, sebuah etik mengacu pada kebenaran atau prinsip yang universal (Matsumoto, 2000). Sebagai contoh, Paul Ekman pernah meneliti bentuk-bentuk ekspresi wajah di kelompok-kelompok pedalaman, ternyata dia menemukan bahwa beberapa ekspresi wajah seperti tersenyum bersifat universal di setiap budaya. Sedangkan Emik mengacu kepada temuan-temuan yang tampak berbeda untuk budaya yang berbeda; dengan demikian, sebuah emik mengacu pada kebenaran yang bersifat khas budaya (culture-spesific).
Konsep Etik dan Emik ini kini menjadi penting dalam menjelaskan sebuah fenomenon psikologis, karena jika tidak seorang peneliti psikologi akan terjebak di dalam bias budaya. Seorang psikolog bukanlah seorang manusia suci yang selalu memandang sesuatu secara obyektif dan benar, akan tetapi ia adalah seorang manusia yang mau tidak mau memiliki cara berpikir yang dipengaruhi oleh konteks sosial-budaya dimana ia berada. Seorang psikolog barat bisa saja menyimpulkan bahwa orang Indonesia adalah orang-orang yang tidak mengenal sopan santun atau memperhatikan estetika, karena kemana saja mereka pergi mereka menggunakan sandal. Padahal dari sudut pandang lokal (indegenous) menggunakan sandal adalah salah satu hal yang wajar-wajar saja ketika kita pergi ke sebuah ruang publik. Dengan demikian, pemahaman atas adanya Etik dan Emik perilaku akan membuka wawasan lebih baik mengenai perilaku manusia yang sangat terkait dengan budaya. Semoga pengantar ini bisa memberi gambaran serta memotivasi pembaca untuk mengarungi budaya bersama psikologi!
Daftar Referensi
Matsumoto, D .(2000). Pengantar psikologi lintas budaya. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Komentar