Abu Dzar dan Maslow

(Renungan menjelang bulan suci)

Selama beberapa dekade ini, teori-teori yang menjelaskan tentang perilaku manusia telah didominasi oleh pemikir-pemikir barat. Paradigma tentang manusiapun bergeser dari penelitian terhadap jiwa manusia menjadi pengakuan terhadap manusia yang hanya ditentukan oleh perilakunya. Hal ini tidak mengherankan, karena pemikir barat seperti Freud, Skinner, Adler, Fromm, Jung selalu berpikir dengan logika non-tuhan, logika materialistik, logika mekanistik, dan logika dualisme. Untuk apa? Jelas untuk status, pengakuan dari kalangan ilmiah, untuk menciptakan sebuah disertasi yang kontraversial, yang akan dipuji oleh banyak orang, untuk merasa nikmatnya didengarkan oleh orang banyak, untuk sebuah nobel, popularitas, dan penyembahan pemikirannya sendiri. Jika anda sedikitpun bertanya apakah mereka memikirkan manfaat dari teori mereka? Saya akan menjawab dengan tegas tidak. Mengapa? Karena mereka sendiri tidak pernah menerapkan ideologi teori mereka untuk kehidupan mereka sendiri. Sampai saat ini mereka terus menerus berseteru dengan jargon-jargon mereka, yang satu mempertahankan teorinya yang lain menentangnya, mereka senang dengan berbagai diskursif. Masing-masing berteriak untuk kepentingan diri mereka sendiri.
Sesungguhnya pengakuan terhadap teori-teori merekapun tidak datang dari mayoritas ilmuwan dunia, akan tetapi hanya dari beberapa organisasi barat yang mengukuhkan diri sebagai penentu yang benar dan yang salah. Dari mana datangnya keabsahan metodologi? dari mana datangnya sekolah-sekolah yang diakui? dari mana datangnya jurnal-jurnal acuan? ya jelas dari barat. Pada suatu saat mereka bisa saja mengakui sebuah teori yang tidak memiliki dasar metodologi yang kuat seperti teori psikoanalisa Freud, di saat lain mereka sangat meninggikan pentingnya cara eksperimental, laboratorium, statistik, dan variabel-variabel seperti Skinner. Jadi sesungguhnya cara yang digunakan adalah cara suka-suka, sebuah logika paradigmatis.
Maslow adalah salah satu ilmuwan pengembang teori humanistik pada dekade 1950-an. Ia adalah salah satu ilmuwan moderat yang berusaha menengahi teori psikoanalitik dan behavioristik. Psikoanalisa sendiri menganggap bahwa seluruh perilaku manusia dilandaskan oleh ketidaksadaran dan instink-instink kebinatangan, sedangkan behavioristik mengakui manusia sebagai hasil dari stimulus lingkungan, atau tidak berbeda dengan sebuah mesin yang hanya bekerja berdasarkan perintah. Psikolog humanis memberikan penekanan, dan pengakuan terhadap faktor-faktor internal, seperti perasaan, nilai-nilai luhur dan harapan. Tetapi anehnya mereka tetap tidak mengakui adanya jiwa. Mungkin karena mereka terlalu ekstrem dalam kemoderatannya. Maslow sendiri menyusun konsep hirarki kebutuhan manusia, hirarki ini adalah landasan motivasi bagi manusia untuk berperilaku. Hirarki kebutuhan maslow memiliki sifat universal, sehingga seharusnya ia dapat menjelaskan berbagai perilaku manusia pada setiap tingkat ekonomi, budaya, zaman dan letak geografis.
Pada tingkatan yang paling rendah dari hirarki kebutuhan maslow adalah kebutuhan biologis, yaitu makan dan minum. Menurut Maslow tanpa terpenuhinya kebutuhan ini, manusia tidak akan mampu dan tidak akan pernah mencapai tahap berikutnya. Jadi setiap tingkatan adalah prasyarat bagi tercapainya tingkatan berikutnya. Untuk melewati tahap ini manusia akan melakukan apa saja!dan menghiraukan resiko apapun untuk memenuhi kebutuhan biologisnya! Sangat logis, dan ini adalah pendapat Maslow. Pada tingkatan yang paling tinggi adalah aktualisasi diri. Bagaimanakah manusia yang telah mencapai aktualisasi diri? Menurut Maslow orang yang teraktualisasi sudah dapat menerima diri mereka sendiri juga orang lain, ia cenderung berperilaku spontan, kreatif, dapat mengarahkan diri mereka sendiri atau self directed, baik dalam memecahkan masalah maupun dalam menjalin hubungan interpresonal, tidak otoriter, menghargai pengalaman, memiliki emosi yang kaya, cenderung untuk mencintai alam dll. Yang lebih unik adalah bahwa pada tahap ini, individu dikatakan mengalami sebuah peak experiences yaitu perasaan mistis dan spiritual yang membuat individu merasakan kesatuan dengan sesuatu di luar diri. Menurut Maslow sesungguhnya tahap ini tidak akan pernah tercapai, karena manusia terus menerus bergerak menuju aktualisasi diri. Beratus-ratus tahun yang lalu Imam Ali A.S bersabda “Mengenali diri merupakan jalan untuk mengenal Tuhanmu”, bukankah aktualisasi diri adalah bukti terhadap adanya Tuhan. Maslow telah menemukan bukti terhadap keberadaan Tuhan tapi ia enggan mengakuinya, namun ia tidak kuasa berdiam diri.
Kembali kepada hirarki kebutuhan Maslow, tadi telah diutarakan bahwa pada tingkat paling bawah adalah kebutuhan biologis dan tingkat paling atas adalah aktualisasi diri, diantara keduanya adalah kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan afiliasi atau kebutuhan sosial, dan kebutuhan self esteem atau kebutuhan untuk memiliki rasa percaya diri. Disini saya tidak akan membahasnya satu persatu secara rinci karena melalui nama dari masing-masing tingkatan sudah cukup untuk menggambarkan makna dari tingkatan tersebut. Tingkatan kebutuhan ini sering digambarkan dalam bentuk piramid dan perlu saya tekankan lagi bahwa tiap tingkatan merupakan prasyarat bagi tingkatan yang berikutnya. Seseorang tidak akan mencapai aktualisasi diri tanpa terpenuhi haus dan laparnya, pengakuan sosialnya, dan pengakuan terhadap kualitas dirinya.
Abu Dzar Al Ghifari adalah salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW yang ikut serta dalam perang Tabuk. Tabuk sendiri terletak sangat jauh dari Madinah yaitu sekitar empat ratus mil. Rombongan nabi berangkat dengan perbekalan dan persenjataan yang seadanya. Di tengah perjalanan, tiga orang, satu demi satu tercecer di belakang, dan setiap kali ada yang tercecer, Nabi SAW diberi tahu, dan setiap kali Nabi berucap “ jika ia orang baik, ALLAH akan mengembalikannya dan jika ia orang tidak baik, lebih baik ia tidak pergi (tidak menyusul)”. Unta Abu dzar yang kurus dan lemah termasuk yang terbelakang, dan Abu Dzar pun akhirnya tertinggal di belakang. Seorang sahabat berucap “Ya Rasulullah! Abu Dzar juga tercecer!” Nabipun mengulangi kalimat yang sama “Jika ia orang baik, ALLAH akan mengembalikan dia pada kita, dan jika tidak baik, lebih baik ia pergi”.
Pasukan terus maju dan Abu Dzar makin tercecer tetapi tidak ada yang dapat dilakukannya, binatang tunggangannya tetap tidak berdaya. Apapun yang ia lakukan untanya tetap tidak bergerak, dan kini ia tertinggal beberapa mil di belakang. Ia membebaskan untanya dan memikul sendiri muatannya. Dalam suhu terik itu ia meneruskan perjalanan di gurun panas. Ia serasa akan mati kehausan. Ia menemukan tempat berteduh di batu-batu yang terlindung panas oleh bukit. Di antara batu-batu itu ada sedikit air bekas hujan yang menggenang, tetapi ia berniat tidak akan meminumnya mendahului sahabatnya, Rasulullah SAW. Ia mengisi air itu ke dalam kantong kulit , memikulnya, dan bergegas menyusul kaum Muslim yang telah jauh di depan. Di kejauhan mereka melihat suatu sosok. “Ya Rasulullah! Kami melihat suatu sosok menuju arah kita!”
Beliau SAW berucap semoga itu Abu Dzar. Sosok itu makin dekat, memang itu Abu Dzar, tetapi tenaga yang terkuras dan dahaga serasa mau mencopot kakinya. Nabi SAAW khawatir ia akan rubuh. Nabi SAW menyuruh memberikannya minum secepatnya, tetapi Abu dzar berkata serak bahwa ia mempunyai air. Nabi SAW berkata:
“Engkau mempunyai air, tetapi engkau hampir mati kehausan!”, “Memang, ya Rasulullah! Ketika saya mencicipi air ini, saya menolak meminumnya sebelum sahabatku Rasulullah”
Sungguh Abu Dzar telah mendobrak, dan meruntuhkan teori Maslow. Teori maslow tidak mampu menjelaskan peristiwa ini, piramida hirarki kebutuhan Maslow tenggelam dalam pribadi, dan perilaku Abu Dzar yang hanya dapat dilihat secara multidimensional. Teori Maslow yang begitu digembar-geborkan tidak berdaya menjelaskan perilaku Abu Dzar yang self directed tanpa terpengaruh letih dan hawa panas, mencintai alam dengan melepaskan untanya, menjalin hubungan interpersonal yang harmonis dan memuaskan dengan sahabatnya yang mulia Rasulullah SAW, bahkan berkorban demiNya. Semua itu menunjukkan bahwa Abu Dzar telah mencapai tingkat aktualisasi diri. Lantas dimana letak kelemahan penjelasan teori Maslow? Ketika Abu Dzar merasakan lapar, haus, letih, bahkan terancam kematian! Ia yang berada dihadapan sebuah genangan air tetap tidak memikirkan kebutuhan biologis dirinya sendiri, akan tetapi memikirkan Rasulullah SAW. Berarti aktualisasi diri dari Abu Dzar tercapai tanpa prasyarat, tanpa melalui tingkatan-tingkatan dasar. Abu Dzar tidak membutuhkan terpenuhinya kebutuhan biologis, bahkan ia rela mati, ia tidak membutuhkan pengakuan sosial, tercecerpun ia tidak putus asa, ia tidak membutuhkan pengakuan terhadap kemampuannya, tidak membutuhkan dukungan dari orang lain yang akan membuatnya percaya diri. Teori dari Abraham Maslow disini menjadi naif. Aktualisasi diri tidak tercapai melalui sebuah hirarki, tidak seperti sebuah tangga dimana untuk mencapai puncaknya harus menaiki anak tangga satu persatu. Abu Dzar menemukan cara yang lebih cepat dan sederhana untuk mencapai aktualisasi diri, yaitu dengan mencintai Rasulullah SAW.

(Sebuah tulisan yang saya tulis sekitar 4 tahun yang lalu)

Muhammad Faisal

Komentar

Postingan Populer