Rasio VS Mitos dibalik “Terowongan Casablanca:Kuntilanak Merah”
Rasa takut adalah kondisi psikologis yang paling tidak menyenangkan dalam diri manusia, namun perasaan itu sekarang dicari dan dibeli oleh para pecinta film Indonesia. Tidak sedikit dari produser film Indonesia kini gencar memproduksi film-film yang mengeksploitasi perasaan takut penonton.
‘Jelangkung’ adalah salah satu contoh dari beberapa film horor lokal yang berhasil memicu perasaan takut penonton secara optimal. Bayangkan saja, trauma terhadap Suster Ngesot bisa membekas di benak penonton selama beberapa minggu. Resep kesuksesan film ‘Jelangkung’ kini ditiru oleh sejumlah sineas, bahkan sekarang kita bisa melihat begitu bervariasinya film-film horor lokal. Variasi tersebut terletak pada tema horor yang diangkat, dimana sebagian besar diangkat dari mitos urban atau kisah rakyat seperti Leak, Pocong, Kuntilanak, Hantu Jeruk Purut, Dll. Film horor terbaru yang bisa kita tonton di bioskop juga mengangkat sebuah mitos urban, yaitu ‘Terowongan Casablanca:Kuntilanak Merah’.
Muncul sebuah pertanyaan, mengapa film-film tersebut begitu laris dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia? Bahkan bukan hanya pada level film layar lebar, akan tetapi pada tayangan-tayangan televisipun kita bisa melihat fenomena yang serupa.
Emosi Takut
Pertama, kita harus melihat emosi takut pada masyarakat Indonesia sebagai sebuah perilaku yang culture specific. Yaitu bahwa apa-apa yang membuat seseorang merasakan takut di Indonesia, belum tentu bisa membuat orang lain takut di budaya lain. Sebagai contoh; kita bisa melihat bahwa tokoh-tokoh horor di budaya barat memiliki karakteristik yang berbeda dengan apa yang kita dapati di timur. Beberapa tokoh horor barat seperti, manusia serigala, Drakula, Mummy, dan Zombie memiliki tampilan serta cara terror yang berbeda dengan hantu lokal. Paul Ekman (2003), seorang pakar emosi, mengatakan bahwa mungkin perasaan takut tidak terberi dalam setiap manusia. Hal ini menyebabkan individu bervariasi dalam setiap aspek dari perilaku dan emosi takut.
Rasa takut bisa datang kapan saja dan kepada siapa saja. Sesorang anak bisa memiliki rasa takut terhadap badut, sedangkan orang dewasa juga bisa memiliki rasa takut yang sama besarnya terhadap badut. Selain itu, seseorang bisa juga merasakan takut di tengah keramaian atau di kala sendiri. Hal ini terjadi karena rasa takut adalah sebuah perilaku yang dipelajari secara sosial (socially learned). Pencetus teori belajar sosial Dollard dan Miller mengatakan bahwa perilaku bisa dipelajari melalui tiga cara yaitu; ‘Same behavior’ (melihat hantu dengan mata kepala sendiri), ‘Matched dependent behavior’ (melihat orang ‘pintar’ atau dukun takut terhadap hantu) atau ‘Copying’ (melihat orang lain secara umum takut terhadap hantu).
Disonansi Rasio-Mitos
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang unik ketika mencari penjelasan dari peristiwa-peristiwa kehidupan. Sebagai contoh ketika terjadi sebuah kecelakaan di sebuah tikungan jalan yang sama secara berturut-turut, sebagian besar orang akan menyimpulkan bahwa di tempat tersebut ada ‘penunggunya’. Jika terdapat sebuah rumah mewah yang sejak lama tidak laku untuk dijual, maka kita akan mengatakan bahwa rumah tersebut angker. Proses ini berpikir seperti ini dinamakan heuristic, yaitu sebuah cara berpikir pintas dalam menemukan penjelasan dari berbagai peristiwa hidup. Heuristic dilakukan ketika manusia malas untuk berpikir kritis, melakukan analisa, mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan, dan melihat hubungan-hubungan antara sebab-sebab yang ada.
Produk dari cara berpikir heuristic adalah asumsi-asumsi yang tidak berdasar dan ide yang mengarah kepada perilaku supersticious. Misalnya berdasarkan berbagai peristiwa yang terjadi di terowongan Casablanca, orang mengatakan bahwa tempat tersebut ‘ditunggu’ dan jika kita ingin selamat melewati tempat tersebut kita harus mengklakson sebanyak tiga kali. Hal ini mungkin benar, tapi kemungkinan besar juga salah, yang jelas hal itu tidak pernah terbukti secara rasional dan ilmiah.
Kebiasaan berpikir heuristic-supersticious membawa masyarakat dalam keadaan kognisi disonan. Kognisi disonan menurut Festinger, terjadi ketika terdapat dua ide dalam kesadaran kita yang saling bertentangan. Misal, ide pertama “Kecelakan mobil terjadi karena kelalaian manusia”, dan ide kedua “Kecelakaan mobil terjadi karena hantu”. Kedua ide ini akan saling bertarung di dalam kesadaran manusia karena dua-duanya saling bertentangan, yang pertama adalah sebuah ide rasional dan yang kedua adalah mitos masyarakat. Ketika mengalami kondisi disonan, manusia akan melakukan usaha-usaha untuk bisa mengembalikan kondisi konsonan, disinilah film horor mengambil peran.
Kognisi konsonan Melalui Film
Festinger mengatakan bahwa pengurangan disonansi dapat dilakukan dengan tiga cara; mengubah elemen tingkah laku (saya tidak akan lagi lewat terowongan Casablanca), mengubah elemen kognitif lingkungan (melakukan penelitian yang membuktikan bahwa struktur jalanan Casablanca adalah penyebab utama kecelakaan, lalu mempublikasikannya), atau menambah elemen kognitif baru (mencari penjelasan tambahan mengenai hantu Casablanca). Oleh karena itu, film-film horor lokal sangat berperan dalam menambah elemen kognitif baru masyarakat, informasi dalam film memberi ide pendukung bahwa ‘hantu Casablanca’ memang eksis. Melalui film horor kita bahkan bisa mendapatkan ide mengenai latar belakang kemunculan dari seorang hantu, penampilan dari hantu itu, proses kerja hantu dalam menakut-nakuti, sampai cara pengusiran hantu. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa sebab psikologis di balik larisnya film horor lokal bukan karena kualitas dari film tersebut, tapi disonansi kognisi masyarakat. Karena film horor lokal telah berevolusi dari media entertainment menjadi ‘obat’ bagi sebagian masyarakat untuk mendapatkan kognisi yang konsonan.
Muhammad Faisal
(ditulis ketika film-film horor mulai merebak)
‘Jelangkung’ adalah salah satu contoh dari beberapa film horor lokal yang berhasil memicu perasaan takut penonton secara optimal. Bayangkan saja, trauma terhadap Suster Ngesot bisa membekas di benak penonton selama beberapa minggu. Resep kesuksesan film ‘Jelangkung’ kini ditiru oleh sejumlah sineas, bahkan sekarang kita bisa melihat begitu bervariasinya film-film horor lokal. Variasi tersebut terletak pada tema horor yang diangkat, dimana sebagian besar diangkat dari mitos urban atau kisah rakyat seperti Leak, Pocong, Kuntilanak, Hantu Jeruk Purut, Dll. Film horor terbaru yang bisa kita tonton di bioskop juga mengangkat sebuah mitos urban, yaitu ‘Terowongan Casablanca:Kuntilanak Merah’.
Muncul sebuah pertanyaan, mengapa film-film tersebut begitu laris dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia? Bahkan bukan hanya pada level film layar lebar, akan tetapi pada tayangan-tayangan televisipun kita bisa melihat fenomena yang serupa.
Emosi Takut
Pertama, kita harus melihat emosi takut pada masyarakat Indonesia sebagai sebuah perilaku yang culture specific. Yaitu bahwa apa-apa yang membuat seseorang merasakan takut di Indonesia, belum tentu bisa membuat orang lain takut di budaya lain. Sebagai contoh; kita bisa melihat bahwa tokoh-tokoh horor di budaya barat memiliki karakteristik yang berbeda dengan apa yang kita dapati di timur. Beberapa tokoh horor barat seperti, manusia serigala, Drakula, Mummy, dan Zombie memiliki tampilan serta cara terror yang berbeda dengan hantu lokal. Paul Ekman (2003), seorang pakar emosi, mengatakan bahwa mungkin perasaan takut tidak terberi dalam setiap manusia. Hal ini menyebabkan individu bervariasi dalam setiap aspek dari perilaku dan emosi takut.
Rasa takut bisa datang kapan saja dan kepada siapa saja. Sesorang anak bisa memiliki rasa takut terhadap badut, sedangkan orang dewasa juga bisa memiliki rasa takut yang sama besarnya terhadap badut. Selain itu, seseorang bisa juga merasakan takut di tengah keramaian atau di kala sendiri. Hal ini terjadi karena rasa takut adalah sebuah perilaku yang dipelajari secara sosial (socially learned). Pencetus teori belajar sosial Dollard dan Miller mengatakan bahwa perilaku bisa dipelajari melalui tiga cara yaitu; ‘Same behavior’ (melihat hantu dengan mata kepala sendiri), ‘Matched dependent behavior’ (melihat orang ‘pintar’ atau dukun takut terhadap hantu) atau ‘Copying’ (melihat orang lain secara umum takut terhadap hantu).
Disonansi Rasio-Mitos
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang unik ketika mencari penjelasan dari peristiwa-peristiwa kehidupan. Sebagai contoh ketika terjadi sebuah kecelakaan di sebuah tikungan jalan yang sama secara berturut-turut, sebagian besar orang akan menyimpulkan bahwa di tempat tersebut ada ‘penunggunya’. Jika terdapat sebuah rumah mewah yang sejak lama tidak laku untuk dijual, maka kita akan mengatakan bahwa rumah tersebut angker. Proses ini berpikir seperti ini dinamakan heuristic, yaitu sebuah cara berpikir pintas dalam menemukan penjelasan dari berbagai peristiwa hidup. Heuristic dilakukan ketika manusia malas untuk berpikir kritis, melakukan analisa, mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan, dan melihat hubungan-hubungan antara sebab-sebab yang ada.
Produk dari cara berpikir heuristic adalah asumsi-asumsi yang tidak berdasar dan ide yang mengarah kepada perilaku supersticious. Misalnya berdasarkan berbagai peristiwa yang terjadi di terowongan Casablanca, orang mengatakan bahwa tempat tersebut ‘ditunggu’ dan jika kita ingin selamat melewati tempat tersebut kita harus mengklakson sebanyak tiga kali. Hal ini mungkin benar, tapi kemungkinan besar juga salah, yang jelas hal itu tidak pernah terbukti secara rasional dan ilmiah.
Kebiasaan berpikir heuristic-supersticious membawa masyarakat dalam keadaan kognisi disonan. Kognisi disonan menurut Festinger, terjadi ketika terdapat dua ide dalam kesadaran kita yang saling bertentangan. Misal, ide pertama “Kecelakan mobil terjadi karena kelalaian manusia”, dan ide kedua “Kecelakaan mobil terjadi karena hantu”. Kedua ide ini akan saling bertarung di dalam kesadaran manusia karena dua-duanya saling bertentangan, yang pertama adalah sebuah ide rasional dan yang kedua adalah mitos masyarakat. Ketika mengalami kondisi disonan, manusia akan melakukan usaha-usaha untuk bisa mengembalikan kondisi konsonan, disinilah film horor mengambil peran.
Kognisi konsonan Melalui Film
Festinger mengatakan bahwa pengurangan disonansi dapat dilakukan dengan tiga cara; mengubah elemen tingkah laku (saya tidak akan lagi lewat terowongan Casablanca), mengubah elemen kognitif lingkungan (melakukan penelitian yang membuktikan bahwa struktur jalanan Casablanca adalah penyebab utama kecelakaan, lalu mempublikasikannya), atau menambah elemen kognitif baru (mencari penjelasan tambahan mengenai hantu Casablanca). Oleh karena itu, film-film horor lokal sangat berperan dalam menambah elemen kognitif baru masyarakat, informasi dalam film memberi ide pendukung bahwa ‘hantu Casablanca’ memang eksis. Melalui film horor kita bahkan bisa mendapatkan ide mengenai latar belakang kemunculan dari seorang hantu, penampilan dari hantu itu, proses kerja hantu dalam menakut-nakuti, sampai cara pengusiran hantu. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa sebab psikologis di balik larisnya film horor lokal bukan karena kualitas dari film tersebut, tapi disonansi kognisi masyarakat. Karena film horor lokal telah berevolusi dari media entertainment menjadi ‘obat’ bagi sebagian masyarakat untuk mendapatkan kognisi yang konsonan.
Muhammad Faisal
(ditulis ketika film-film horor mulai merebak)
Komentar