Psikologi yang "Ghaib"
‘Psikologi adalah ilmu ghaib’, ungkapan tersebut merupakan stigma yang hingga kini terus membayang-bayangi para psikolog dan psikologi di Indonesia. Kesan eksplanasi yang ‘Abstrak’ serta kemampuan seorang psikolog untuk ‘Membaca manusia’ merupakan dua hal yang berkontribusi besar terhadap respresentasi psikologi sebagai ‘Ghaib’ di mata masyarakat dan para ilmuwan sosial lain.
Stigma ‘Ghaib’ tersebut mungkin tidak digubris secara serius oleh sebagian besar jamaah psikologi, karena dianggap commonsense, berprasangka, dan tidak berdasar. Namun, di sisi lain impresi tersebut tidak dapat diacuhkan begitu saja, sebab ia muncul dalam konteks sosial sebagai sebuah respons terhadap ilmu. Alasan dibaliknya bisa jadi adalah kelemahan ilmu itu dalam memecahkan permasalahan manusia, teori-teori yang jauh dari realitas manusia, atau metodologi yang meragukan.
Psikologi sendiri adalah sebuah ilmu yang dirancang, dipersiapkan, dilahirkan, dan disebarluaskan oleh peradaban barat, ini adalah sebuah fakta. Secara historis psikologi sesungguhnya tidak memiliki titik mula sejarah yang pasti. Secara umum, berbagai teks mencatat bahwa psikologi pertama kali tumbuh dari akar filosofi Yunani, berkembang di tangan para fisiolog, neurolog, dan psikiater secara sporadis, kemudian bersemi ketika Wilhem Wundt permata kali mendirikan lab psikologi di Liepzig. Secara cetak biru, psikologi terbentuk tanpa sebuah deklarasi, paradigma, dan institusi yang jelas, akan tetapi ia terbentuk secara aksidental. Oleh sebab itu, Braginsky dan Braginsky (1970) menyatakan bahwa “Psikologi miskin akan sebuah kesatuan”.
Sepanjang rel historik, psikologi juga tidak pernah menunjukkan kesetiaan terhadap satu metodologi tertentu. Pada era filosofik misalnya, psikologi mendekati manusia dengan pendekatan spekulatif, yaitu melalui perenungan dan pemikiran. Kemudian, tradisi ini diwariskan kepada para psikolog angkatan pertama (psikoanalis), dimana mereka mengkombinasikan kontemplasi dan data wawancara dengan klien-klien. Tidak mengherankan jika kemudian metodologi tersebut dihujani berbagai kritik terhadap subyektivisme yang begitu kental di dalamnya. Lalu, angkatan kedua (behavioris) tampil sebagai mesiah yang membawa bendera obyektivisme. Psikologi pada era behavioris mengadopsi metodologi eksperimental, sebagaimana ilmu-ilmu eksakta, dalam meneliti manusia. Hewan-hewan digunakan sebagai subyek penelitian lalu hasilnya digeneralisasikan kepada umat manusia. Tidak butuh waktu yang lama sebelum para psikolog menyadari bahwa manusia tidak bisa disamakan dengan hewan, dan bahwa manusia tidak selalu bereaksi secara mekanistik terhadap stimulus lingkungan. Sebuah partai bernama fenomenologispun lahir sebagai sebuah reaksi ilmiah dan manusia berhenti dipandang sebagaimana makhluk melata. Namun sayangnya, metodologi fenomenologi membawa psikologi kembali ketitik awal yaitu kepada kecenderungan spekulasi dan filosofi. Sebagai luapan kritik atas hal tersebut Koch (1985) mengungkapkan “Jika kita (para psikolog) betul-betul independen -yang berdasarkan konteks sejarah bermakna bebas dari filsafat- lantas mengapa para psikolog terdorong untuk meminjam kutipan bab dan kalimat dari displin filsafat ilmu (atau bahkan filsafat non ilmiah)“.
Secara lebih lanjut, ketiga angkatan psikologi tersebut (psikoanalis, behavioris, dan fenomenologi) lantas berdiri secara independen dan membangun fondasi-fondasi dengan arah yang berbeda. Pada akhirnya, bangunan psikologi modern terlihat tumpang tindih, konsep manusia dalam psikolog tersegmentasi sesuai dengan mazhab yang ada, pemahaman mengenai manusia belum tiba pada titik terang, dan psikologi berjalan tanpa sebuah panduan. Braginsky dan Braginsky dengan tegas mengatakan (1970) “Psikologi miskin akan arah”.
Arah, tujuan, dan ideologi adalah ruh ilmu yang telah diwafatkan oleh para psikolog semenjak psikologi masih berada di pangkuan falsafah. Para filusuf tempo itu mengharamkannya (arah, tujuan, dan ideologi) karena ketiga aspek tersebut sangat dekat dengan agama. Agama sendiri, pada masa itu, bak sebuah parasit yang seakan-akan dapat mengubah obyektivitas ilmu menjadi irasionalitas, kearifan menjadi kefanatikan, dan empirisisme menjadi subyektivisme. Agama telah kehilangan kredibilitas dan kesakralannya ketika risalah Isa as diubah oleh gereja menjadi sebuah institusi yang otoriter. Oleh sebab itu, Braginsky dan Braginsky mengungkapkan bahwa kini “Posisi ideal dari seorang ilmuwan, yang diajarkan kepada pelajar ilmu adalah sebagai seorang ‘Purist’”, purist di sini bermakna seseorang yang suci dari subyektivitas ilmu, keberpihakan, egoisme, dan agama. Tapi realitasnya tidaklah demikian, para psikolog pada dasarnya masih berpegang kepada subyektivitas, sudut pandang moral pribadi, dan keberpihakan dalam teori, yang tersapu dari sudut hati para psikolog hanyalah keimanan serta agama. Keyakinan sekuler telah menghapus tuhan, agama, serta keberagamaan dari eksplanasi psikologis, sehingga psikologi begerak secara acak dan tidak memberikan petunjuk yang jelas kepada kemanusiaan.
Nah, kini kita telah mengungkap ruang-ruang kosong dari psikologi sebagai produk sejarah, metodologi, teori, dan paradigma ilmuwan. Jawaban dibalik stigma psikologi sebagai ilmu ‘Ghaib’pun menjadi sesuatu yang logis, yaitu bahwa psikologi sebagai ilmu tidak mampu menjawab esensi dari manusia, memberikan arah bagi hidup manusia, dan psikologi mengabaikan peran agama dalam perilaku manusia. Kesimpulan-kesimpulan psikologis menjadi pernyataan yang tidak memiliki fondasi yang kokoh serta nonsensitif terhadap konteks keyakinan religi, dan budaya. Psikologi teralienasi di dalam kehidupan timur, dan masyarakat timur melihat psikologi sebagai piranti yang tidak kompatibel dengan kehidupan mereka.
Sekarang tiba saatnya bagi para filsuf dan psikolog lokal untuk merekonstruksi ulang akar etnosentris psikologi yang tertancap dalam di barat dan visi kemanusiaan psikologi yang hampa. Sebab, manusia tanpa agama adalah manusia tanpa titik finish yang tegas, sedangkan manusia tanpa budaya adalah manusia yang terasing. Sebuah psikologi yang berangkat dari kearifan lokal, sebuah keimanan, dan dasar metodologis yang tidak tersegmentasi akan menciptakan sebuah psikologi yang akan memberi jawaban terhadap esensi manusia. Tujuan akhir dari psikologi yang demikian akan melampaui kontrol dan prediksi perilaku, kemudian memberikan peta jalan bagi manusia untuk mencapai kesempurnaan psikologis di dunia namun tidak bertentangan dengan preskripsi akherat. Harapan penulis, melalui revolusi filosofi dan psikologis ini, kita dapat menanamkan sebuah benih psikologi di dataran timur yang akan tumbuh menjadi sebuah pohon dengan buah manis bagi kemanusiaan. Dengan demikian, lambat laun masyarakat ilmiah dan awam dapat memandang ‘Ilmu ghaib’ ini menjadi sesuatu yang riil serta relevan bagi kehidupan.
Muhammad Faisal (Kandidat Doktor Psikologi di Universitas Indonesia)
Stigma ‘Ghaib’ tersebut mungkin tidak digubris secara serius oleh sebagian besar jamaah psikologi, karena dianggap commonsense, berprasangka, dan tidak berdasar. Namun, di sisi lain impresi tersebut tidak dapat diacuhkan begitu saja, sebab ia muncul dalam konteks sosial sebagai sebuah respons terhadap ilmu. Alasan dibaliknya bisa jadi adalah kelemahan ilmu itu dalam memecahkan permasalahan manusia, teori-teori yang jauh dari realitas manusia, atau metodologi yang meragukan.
Psikologi sendiri adalah sebuah ilmu yang dirancang, dipersiapkan, dilahirkan, dan disebarluaskan oleh peradaban barat, ini adalah sebuah fakta. Secara historis psikologi sesungguhnya tidak memiliki titik mula sejarah yang pasti. Secara umum, berbagai teks mencatat bahwa psikologi pertama kali tumbuh dari akar filosofi Yunani, berkembang di tangan para fisiolog, neurolog, dan psikiater secara sporadis, kemudian bersemi ketika Wilhem Wundt permata kali mendirikan lab psikologi di Liepzig. Secara cetak biru, psikologi terbentuk tanpa sebuah deklarasi, paradigma, dan institusi yang jelas, akan tetapi ia terbentuk secara aksidental. Oleh sebab itu, Braginsky dan Braginsky (1970) menyatakan bahwa “Psikologi miskin akan sebuah kesatuan”.
Sepanjang rel historik, psikologi juga tidak pernah menunjukkan kesetiaan terhadap satu metodologi tertentu. Pada era filosofik misalnya, psikologi mendekati manusia dengan pendekatan spekulatif, yaitu melalui perenungan dan pemikiran. Kemudian, tradisi ini diwariskan kepada para psikolog angkatan pertama (psikoanalis), dimana mereka mengkombinasikan kontemplasi dan data wawancara dengan klien-klien. Tidak mengherankan jika kemudian metodologi tersebut dihujani berbagai kritik terhadap subyektivisme yang begitu kental di dalamnya. Lalu, angkatan kedua (behavioris) tampil sebagai mesiah yang membawa bendera obyektivisme. Psikologi pada era behavioris mengadopsi metodologi eksperimental, sebagaimana ilmu-ilmu eksakta, dalam meneliti manusia. Hewan-hewan digunakan sebagai subyek penelitian lalu hasilnya digeneralisasikan kepada umat manusia. Tidak butuh waktu yang lama sebelum para psikolog menyadari bahwa manusia tidak bisa disamakan dengan hewan, dan bahwa manusia tidak selalu bereaksi secara mekanistik terhadap stimulus lingkungan. Sebuah partai bernama fenomenologispun lahir sebagai sebuah reaksi ilmiah dan manusia berhenti dipandang sebagaimana makhluk melata. Namun sayangnya, metodologi fenomenologi membawa psikologi kembali ketitik awal yaitu kepada kecenderungan spekulasi dan filosofi. Sebagai luapan kritik atas hal tersebut Koch (1985) mengungkapkan “Jika kita (para psikolog) betul-betul independen -yang berdasarkan konteks sejarah bermakna bebas dari filsafat- lantas mengapa para psikolog terdorong untuk meminjam kutipan bab dan kalimat dari displin filsafat ilmu (atau bahkan filsafat non ilmiah)“.
Secara lebih lanjut, ketiga angkatan psikologi tersebut (psikoanalis, behavioris, dan fenomenologi) lantas berdiri secara independen dan membangun fondasi-fondasi dengan arah yang berbeda. Pada akhirnya, bangunan psikologi modern terlihat tumpang tindih, konsep manusia dalam psikolog tersegmentasi sesuai dengan mazhab yang ada, pemahaman mengenai manusia belum tiba pada titik terang, dan psikologi berjalan tanpa sebuah panduan. Braginsky dan Braginsky dengan tegas mengatakan (1970) “Psikologi miskin akan arah”.
Arah, tujuan, dan ideologi adalah ruh ilmu yang telah diwafatkan oleh para psikolog semenjak psikologi masih berada di pangkuan falsafah. Para filusuf tempo itu mengharamkannya (arah, tujuan, dan ideologi) karena ketiga aspek tersebut sangat dekat dengan agama. Agama sendiri, pada masa itu, bak sebuah parasit yang seakan-akan dapat mengubah obyektivitas ilmu menjadi irasionalitas, kearifan menjadi kefanatikan, dan empirisisme menjadi subyektivisme. Agama telah kehilangan kredibilitas dan kesakralannya ketika risalah Isa as diubah oleh gereja menjadi sebuah institusi yang otoriter. Oleh sebab itu, Braginsky dan Braginsky mengungkapkan bahwa kini “Posisi ideal dari seorang ilmuwan, yang diajarkan kepada pelajar ilmu adalah sebagai seorang ‘Purist’”, purist di sini bermakna seseorang yang suci dari subyektivitas ilmu, keberpihakan, egoisme, dan agama. Tapi realitasnya tidaklah demikian, para psikolog pada dasarnya masih berpegang kepada subyektivitas, sudut pandang moral pribadi, dan keberpihakan dalam teori, yang tersapu dari sudut hati para psikolog hanyalah keimanan serta agama. Keyakinan sekuler telah menghapus tuhan, agama, serta keberagamaan dari eksplanasi psikologis, sehingga psikologi begerak secara acak dan tidak memberikan petunjuk yang jelas kepada kemanusiaan.
Nah, kini kita telah mengungkap ruang-ruang kosong dari psikologi sebagai produk sejarah, metodologi, teori, dan paradigma ilmuwan. Jawaban dibalik stigma psikologi sebagai ilmu ‘Ghaib’pun menjadi sesuatu yang logis, yaitu bahwa psikologi sebagai ilmu tidak mampu menjawab esensi dari manusia, memberikan arah bagi hidup manusia, dan psikologi mengabaikan peran agama dalam perilaku manusia. Kesimpulan-kesimpulan psikologis menjadi pernyataan yang tidak memiliki fondasi yang kokoh serta nonsensitif terhadap konteks keyakinan religi, dan budaya. Psikologi teralienasi di dalam kehidupan timur, dan masyarakat timur melihat psikologi sebagai piranti yang tidak kompatibel dengan kehidupan mereka.
Sekarang tiba saatnya bagi para filsuf dan psikolog lokal untuk merekonstruksi ulang akar etnosentris psikologi yang tertancap dalam di barat dan visi kemanusiaan psikologi yang hampa. Sebab, manusia tanpa agama adalah manusia tanpa titik finish yang tegas, sedangkan manusia tanpa budaya adalah manusia yang terasing. Sebuah psikologi yang berangkat dari kearifan lokal, sebuah keimanan, dan dasar metodologis yang tidak tersegmentasi akan menciptakan sebuah psikologi yang akan memberi jawaban terhadap esensi manusia. Tujuan akhir dari psikologi yang demikian akan melampaui kontrol dan prediksi perilaku, kemudian memberikan peta jalan bagi manusia untuk mencapai kesempurnaan psikologis di dunia namun tidak bertentangan dengan preskripsi akherat. Harapan penulis, melalui revolusi filosofi dan psikologis ini, kita dapat menanamkan sebuah benih psikologi di dataran timur yang akan tumbuh menjadi sebuah pohon dengan buah manis bagi kemanusiaan. Dengan demikian, lambat laun masyarakat ilmiah dan awam dapat memandang ‘Ilmu ghaib’ ini menjadi sesuatu yang riil serta relevan bagi kehidupan.
Muhammad Faisal (Kandidat Doktor Psikologi di Universitas Indonesia)
Komentar
Justru sy banyak melihat pakar psikologi, malah terjebak sprtnya mereka sdh tidak percaya lg kehidupan setelah kematian, mestinya disadari bahwa teori freud sebenarnya bertitik tolak dari darwin. lalu,,,, kalau demikian malah kehadiran psikologi justru menenggelamkan keluhuran nilai-nilai manusia.