Islamisasi budaya pop
Peran Budaya Terhadap Perilaku
Budaya adalah sebuah komponen sosial yang mampu mempengaruhi struktur psikis dan perilaku manusia. Sebab, melalui budaya manusia dapat menemukan serta memenuhi kebutuhan eksistensialnya yang mendasar. Hal ini dikemukakan oleh seorang ahli psikologi budaya bernama Carl Ratner (2003) yang mengatakan bahwa sebuah aktivitas kultural adalah perilaku yang tertata secara sosial serta memuaskan kebutuhan eksistensial manusia. Secara lebih lanjut, kajian psikologi lintas budaya mengatakan bahwa ‘Budaya’ tidak selalu berakar pada biologi, ras, dan nasionalitas. Akan tetapi, budaya adalah sebuah konstruk individual-psikologis sekaligus sosial-makro. Artinya, sampai batas tertentu, budaya ada di dalam setiap dan masing-masing diri kita secara individual sekaligus ada sebagai sebuah konstruk sosial-global (Matsumoto, 2000).
Budaya adalah sebuah konstruksi sosial yang tidak selalu melibatkan proses demokratis dalam pembentukannya. Namun, aktivitas budaya dapat pula dikendalikan dan dibentuk oleh elit-elit yang memiliki kekuasaan (Ratner, 2003). Dengan demikian, terbentuknya sebuah aktivitas budaya di dalam sebuah bangsa bisa jadi bukan merupakan hasil dari interaksi antara kelompok-kelompok sosial bangsa tersebut, akan tetapi hasil dari proses infiltrasi atau perang budaya dari sebuah bangsa asing. Infiltrasi dan perang budaya tidak selalu bermakna negatif ketika sebuah budaya asing datang dengan membawa nilai-nilai positif-universal serta tidak menghapus nilai-nilai budaya yang telah ada. Namun, inflitrasi dan perang budaya akan berkonotasi negatif ketika sebuah budaya asing datang dengan tujuan untuk menghapus nilai-nilai serta aktivitas kultural yang telah mengakar di sebuah bangsa, lalu membangun sebuah jangkar budaya baru pada bangsa tersebut. Khameini (2005) memaknai ‘Perang budaya’ sebagai suatu kekuatan politik atau ekonomi yang melakukan penyerangan atau teror halus terhadap prinsip-prinsip dan unsur-unsur kebudayaan umat lain. Serangan tersebut bertujuan merealisasikan keinginannya dan menundukkan umat dimaksud di bahwa kendalinya. Ketika sebuah budaya asing telah menanamkan fondasi yang kokoh dalam berbagai ruang sosial sebuah bangsa, maka bangsa tersebut tidak memiliki pilihan lain selain untuk konform terhadap nilai-nilai budaya asing itu.
Konformitas dari sebuah bangsa terhadap budaya asing akan berjalan mulus ketika budaya asing tersebut datang dari sebuah bangsa yang dianggap superior dibandingkan bangsa-bangsa yang lain. Selain itu, konformitas terhadap sebuah budaya asing juga akan terfasilitasi ketika budaya tersebut telah diyakini dan dianut oleh mayoritas bangsa-bangsa lain. Konformitas terhadap budaya asing dapat pula menjadi semakin tinggi ketika sebuah bangsa tidak memiliki komitmen umum atau identifikasi yang kuat terhadap budaya tertentu. Apalagi, ketika budaya asing yang mempengaruhi datang dalam kadar intensitas yang tinggi dan melalui berbagai media.
Dominasi Budaya ‘Pop’
Konformitas terhadap budaya-budaya asing kini dapat kita temukan pula pada bangsa-bangsa muslim dunia. Kita bisa melihat bahwa, ruang-ruang pemikiran, nilai, keyakinan, dan seni yang terdapat di dalam bangsa-bangsa muslim secara umum sudah bergeser dari nilai-nilai Islam dan nuansa-nuansa yang Islami. Bangsa Islam telah kalah di dalam sebuah perang budaya, dan terbenam di dalam ombak budaya ‘Pop’. Storey mendefinisikan budaya ‘Pop’ sebagai ruang pertarungan antara resistensi dari kelompok subordinat di dalam sebuah masyarakat dengan kekuatan korporasi yang berjuang untuk kepentingan kelompok dominan di dalam masyarakat (www.wikipedia.org). Mengacu kepada definisi Storey maka dapat dikatakan bahwa bangsa Islam kini termasuk ke dalam kategori kelompok subordinat yang telah dibawah kendali budaya lain serta berupaya untuk melawan kekuatan korporasi budaya dominan.
Aktivitas dari budaya pop yang telah established di dalam kehidupan bangsa-bangsa muslim secara langsung maupun tidak langsung akan memberikan pengaruh terhadap struktur psikologis dari setiap insan muslim. Ogbu dan Stein (dalam Ratner, 2003) mengatakan bahwa aktivitas kultural berperan sebagai kendali yang dapat menstimulasi, meningkatkan, meluaskan kuantitas, kualitas, dan nilai-nilai kultural dari kemampuan adaptif intelektual individu. Dengan demikian, jika umat Islam tidak sensitif dan responsif terhadap permasalahan ini, maka kita akan mendapati level psiko-intelektual dan psiko-sosial dari umat Islam akan jauh dari nuansa Islam serta nilai-nilai Islam.
Islamisasi Budaya ‘Pop’
Sebagai respon terhadap kurangnya referensi Islami bagi ummat Islam yang kini hidup di tengah-tengah belantara kultur ‘Pop’, seorang cendekiawan muslim bernama Dr. Naif Al-Mutawa menggagas sebuah gerakan Islamisasi budaya ‘Pop’. Al-Mutawa mengkonsepsikan sebuah komik dengan genre superheroes yang membawa nuansa Islami, komik tersebut bertajuk “The 99”. Komik ini akan bersanding dengan pergerakan-pergerakan islamisasi budaya ‘Pop’ yang berjalan secara sporadis di berbagai bangsa Islam. Sebagai contoh, belum lama ini kita telah mendapatkan berita mengenai terbitnya sebuah video games yang bernuansa Islami di Iran, serta adanya produk Barbie muslim yang mengenakan hijab. Di Indonesia kita bisa melihat banyaknya band-band ‘Pop’ sebagaimana ‘Gigi’, ‘Ungu’, dan ‘Dewa’ yang membawa nuansa Islam di dalam musik-musik ‘Pop’ yang mereka bawakan.
Islamisasi budaya ‘Pop’ sendiri merupakan sebuah proses sosial yang muncul atas perang budaya. Sebuah perang budaya antara nilai-nilai kapitalisme, konsumerisme, dan liberalisme barat dengan nilai-nilai Islam. Sergei Moscovici (dalam Vaughan & Hogg, 2005) mengatakan bahwa terdapat tiga bentuk modalitas sosial yang dapat terbentuk sebagai respon atas konflik sosial, yaitu konformitas (dimana mayoritas mempengaruhi minoritas), normalitas (dimana terdapat kompromi antara kedua belah pihak), dan inovasi (dimana kelompok minoritas menciptakan sesuatu yang baru untuk meyakinkan mayoritas). Dengan demikian, di dalam konflik budaya ini umat Islam dituntut untuk bersikap kreatif, dan terus mengikuti perkembangan zaman. Agar umat Islam tidak akan jatuh sekali lagi ke dalam lubang konformitas, dan normalitas.
The Ninety-nine
Komik adalah media ‘Pop’ yang telah dipilih oleh Dr Naif Al Mutawa untuk dapat menggerakkan umat islam dari kecenderungan konformitas dan normalitas ke arah inovasi. Bonnef (2001) mengatakan bahwa para ahli teori komik mengganggap komik sebagai salah satu bentuk akhir dari hasrat manusia untuk menceritakan pengalamannya melalui gambar dan tanda. Hal tersebut menjelaskan mengapa minat terhadap komikpun hingga kini tidak pernah surut. Dengan menggunakan sebuah gaya komunikasi visual a la Marvel yang telah populer, ‘The 99’ memberi sebuah nuansa Islami di dalam ruang seni komik. Dimana plot awal dari kisah ‘The 99’ berawal di Baghdad pada zaman ‘Keemasan Islam’ lalu melintasi Andalusia sampai Saudi Arabia. Walaupun pola kisah dari komik ini tidak jauh berbeda dengan komik-komik mainstream Amerika, namun tokoh-tokoh dari komik ini memiliki kedalaman filosofis yang berakar pada asma-asma Allah di dalam Islam.
Secara psikologis komik ini memiliki dampak yang baik bagi para pembaca maupun seniman muslim. Pertama, melalui semangat ‘The 99’ ini para seniman muslim akan lebih percaya diri untuk dapat berkreasi di dalam arena budaya ‘Pop’, sehingga budaya ‘Pop’ tidak kering dari nuansa-nuansa religius Islami. Kedua, para pembaca nomuslim atau para muslim yang tidak berjiwa Islami serta tidak memiliki kesadaran maupun minat terhadap bacaan-bacaan Islami, dapat memiliki sebuah referensi baru yang dapat mengalihkan perhatian mereka dari konten-konten budaya ‘Pop’ barat yang dominan. Paling tidak, melalui komik ini para pembaca yang tidak familiar terhadap konsep serta istilah-istilah Islam dapat menjadi familiar terhadap konsep-konsep serta istilah Islam. Sehingga, para pembaca ‘The 99’ yang masih kanak-kanak ketika telah memasuki tahap remaja sudah memiliki konsep-konsep Islam di dalam long-term memory mereka. Pada titik tertentu komik ini bahkan mungkin dapat mengubah persepsi pembaca muslim awam terhadap Islam yang kaku, menjadi Islam yang populer. Di lain pihak, bagi para pemuda Islam yang memiliki minat yang besar terhadap hal-hal yang bernuansa Islami, komik ini bisa menjadi sesuatu yang ditunggu-tunggu. Bahkan, saya memprediksi bahwa komik ini akan terjual dengan luas pada konsumen-konsumen yang berjiwa Islami.
Komik ‘The 99’ mungkin lebih tepat disebut sebagai komik Islami dibandingkan sebagai komik Islam. Karena pesan-pesan Islam yang disampaikan di dalam komik ini adalah nuansa budaya yang diutarakan secara implisit. Hal ini mungkin merupakan salah satu strategi yang digunakan oleh Dr Al Mutawa untuk menarik perhatian masa ‘Pop’ terhadap ajaran Islam, yaitu dengan mengkompromikan antara ajaran Islam dengan budaya ‘Pop’. Sebagai seorang muslim kita bisa berharap bahwa ‘The 99’ dapat menjadi pemicu bagi sebuah perubahan representasi sosial Islam. Dimana suatu saat nanti tidak diperlukan lagi sebuah kompromi antara Islam dengan budaya ‘Pop’, karena Islam telah menjadi budaya populer itu sendiri. Sebagaimana telah kita ketahui, ajaran-ajaran Islam serta kisah-kisah yang terdapat di Al Quran merupakan ajaran-ajaran dan kisah etik-universal yang tidak pernah termakan zaman. Pesan-pesan Islam juga merupakan pesan-pesan yang mengandung magnet bagi massa, namun permasalahannya adalah bagaimana mengeksekusi pesan-pesan tersebut dengan cara yang modern. Kita bisa mengingat pada era 70an muncul film layar lebar berjudul ‘The Message’ yang diperankan oleh Anthony Quinn, dimana film itu menyampaikan kisah Islam dalam format yang modern untuk zamannya. Maka kita bisa berharap suatu saat nanti para seniman muslim dapat menyajikan kisah-kisah Al Quran yang universal dengan eksekusi modern sebagaimana Lord of The Rings!
Muhammad Faisal
(disampaikan saat peluncuran komik the "99" di universitas paramadina)
Daftar Referensi
Al-Mutawa et al. (2007). The 99. Imaji Komik: Jakarta
Bonneff, M. (2001). Komik Indonesia. Kepustakaan Populer Gramedia: Jakarta.
Khameini, I. A. (2005). Perang Kebudayaan. Cahaya: Bogor.
Matsumoto, D. (2000). Pengantar Psikologi Budaya. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Ratner, C. (2002). Cultural Psychology; Theory and Method. Kluwer Academic/Plenum Publisher: New York.
Vaughan & Hogg, A. (2005). Social Psychology. Prentice Hall: Australia
www.wikipedia.org
Budaya adalah sebuah komponen sosial yang mampu mempengaruhi struktur psikis dan perilaku manusia. Sebab, melalui budaya manusia dapat menemukan serta memenuhi kebutuhan eksistensialnya yang mendasar. Hal ini dikemukakan oleh seorang ahli psikologi budaya bernama Carl Ratner (2003) yang mengatakan bahwa sebuah aktivitas kultural adalah perilaku yang tertata secara sosial serta memuaskan kebutuhan eksistensial manusia. Secara lebih lanjut, kajian psikologi lintas budaya mengatakan bahwa ‘Budaya’ tidak selalu berakar pada biologi, ras, dan nasionalitas. Akan tetapi, budaya adalah sebuah konstruk individual-psikologis sekaligus sosial-makro. Artinya, sampai batas tertentu, budaya ada di dalam setiap dan masing-masing diri kita secara individual sekaligus ada sebagai sebuah konstruk sosial-global (Matsumoto, 2000).
Budaya adalah sebuah konstruksi sosial yang tidak selalu melibatkan proses demokratis dalam pembentukannya. Namun, aktivitas budaya dapat pula dikendalikan dan dibentuk oleh elit-elit yang memiliki kekuasaan (Ratner, 2003). Dengan demikian, terbentuknya sebuah aktivitas budaya di dalam sebuah bangsa bisa jadi bukan merupakan hasil dari interaksi antara kelompok-kelompok sosial bangsa tersebut, akan tetapi hasil dari proses infiltrasi atau perang budaya dari sebuah bangsa asing. Infiltrasi dan perang budaya tidak selalu bermakna negatif ketika sebuah budaya asing datang dengan membawa nilai-nilai positif-universal serta tidak menghapus nilai-nilai budaya yang telah ada. Namun, inflitrasi dan perang budaya akan berkonotasi negatif ketika sebuah budaya asing datang dengan tujuan untuk menghapus nilai-nilai serta aktivitas kultural yang telah mengakar di sebuah bangsa, lalu membangun sebuah jangkar budaya baru pada bangsa tersebut. Khameini (2005) memaknai ‘Perang budaya’ sebagai suatu kekuatan politik atau ekonomi yang melakukan penyerangan atau teror halus terhadap prinsip-prinsip dan unsur-unsur kebudayaan umat lain. Serangan tersebut bertujuan merealisasikan keinginannya dan menundukkan umat dimaksud di bahwa kendalinya. Ketika sebuah budaya asing telah menanamkan fondasi yang kokoh dalam berbagai ruang sosial sebuah bangsa, maka bangsa tersebut tidak memiliki pilihan lain selain untuk konform terhadap nilai-nilai budaya asing itu.
Konformitas dari sebuah bangsa terhadap budaya asing akan berjalan mulus ketika budaya asing tersebut datang dari sebuah bangsa yang dianggap superior dibandingkan bangsa-bangsa yang lain. Selain itu, konformitas terhadap sebuah budaya asing juga akan terfasilitasi ketika budaya tersebut telah diyakini dan dianut oleh mayoritas bangsa-bangsa lain. Konformitas terhadap budaya asing dapat pula menjadi semakin tinggi ketika sebuah bangsa tidak memiliki komitmen umum atau identifikasi yang kuat terhadap budaya tertentu. Apalagi, ketika budaya asing yang mempengaruhi datang dalam kadar intensitas yang tinggi dan melalui berbagai media.
Dominasi Budaya ‘Pop’
Konformitas terhadap budaya-budaya asing kini dapat kita temukan pula pada bangsa-bangsa muslim dunia. Kita bisa melihat bahwa, ruang-ruang pemikiran, nilai, keyakinan, dan seni yang terdapat di dalam bangsa-bangsa muslim secara umum sudah bergeser dari nilai-nilai Islam dan nuansa-nuansa yang Islami. Bangsa Islam telah kalah di dalam sebuah perang budaya, dan terbenam di dalam ombak budaya ‘Pop’. Storey mendefinisikan budaya ‘Pop’ sebagai ruang pertarungan antara resistensi dari kelompok subordinat di dalam sebuah masyarakat dengan kekuatan korporasi yang berjuang untuk kepentingan kelompok dominan di dalam masyarakat (www.wikipedia.org). Mengacu kepada definisi Storey maka dapat dikatakan bahwa bangsa Islam kini termasuk ke dalam kategori kelompok subordinat yang telah dibawah kendali budaya lain serta berupaya untuk melawan kekuatan korporasi budaya dominan.
Aktivitas dari budaya pop yang telah established di dalam kehidupan bangsa-bangsa muslim secara langsung maupun tidak langsung akan memberikan pengaruh terhadap struktur psikologis dari setiap insan muslim. Ogbu dan Stein (dalam Ratner, 2003) mengatakan bahwa aktivitas kultural berperan sebagai kendali yang dapat menstimulasi, meningkatkan, meluaskan kuantitas, kualitas, dan nilai-nilai kultural dari kemampuan adaptif intelektual individu. Dengan demikian, jika umat Islam tidak sensitif dan responsif terhadap permasalahan ini, maka kita akan mendapati level psiko-intelektual dan psiko-sosial dari umat Islam akan jauh dari nuansa Islam serta nilai-nilai Islam.
Islamisasi Budaya ‘Pop’
Sebagai respon terhadap kurangnya referensi Islami bagi ummat Islam yang kini hidup di tengah-tengah belantara kultur ‘Pop’, seorang cendekiawan muslim bernama Dr. Naif Al-Mutawa menggagas sebuah gerakan Islamisasi budaya ‘Pop’. Al-Mutawa mengkonsepsikan sebuah komik dengan genre superheroes yang membawa nuansa Islami, komik tersebut bertajuk “The 99”. Komik ini akan bersanding dengan pergerakan-pergerakan islamisasi budaya ‘Pop’ yang berjalan secara sporadis di berbagai bangsa Islam. Sebagai contoh, belum lama ini kita telah mendapatkan berita mengenai terbitnya sebuah video games yang bernuansa Islami di Iran, serta adanya produk Barbie muslim yang mengenakan hijab. Di Indonesia kita bisa melihat banyaknya band-band ‘Pop’ sebagaimana ‘Gigi’, ‘Ungu’, dan ‘Dewa’ yang membawa nuansa Islam di dalam musik-musik ‘Pop’ yang mereka bawakan.
Islamisasi budaya ‘Pop’ sendiri merupakan sebuah proses sosial yang muncul atas perang budaya. Sebuah perang budaya antara nilai-nilai kapitalisme, konsumerisme, dan liberalisme barat dengan nilai-nilai Islam. Sergei Moscovici (dalam Vaughan & Hogg, 2005) mengatakan bahwa terdapat tiga bentuk modalitas sosial yang dapat terbentuk sebagai respon atas konflik sosial, yaitu konformitas (dimana mayoritas mempengaruhi minoritas), normalitas (dimana terdapat kompromi antara kedua belah pihak), dan inovasi (dimana kelompok minoritas menciptakan sesuatu yang baru untuk meyakinkan mayoritas). Dengan demikian, di dalam konflik budaya ini umat Islam dituntut untuk bersikap kreatif, dan terus mengikuti perkembangan zaman. Agar umat Islam tidak akan jatuh sekali lagi ke dalam lubang konformitas, dan normalitas.
The Ninety-nine
Komik adalah media ‘Pop’ yang telah dipilih oleh Dr Naif Al Mutawa untuk dapat menggerakkan umat islam dari kecenderungan konformitas dan normalitas ke arah inovasi. Bonnef (2001) mengatakan bahwa para ahli teori komik mengganggap komik sebagai salah satu bentuk akhir dari hasrat manusia untuk menceritakan pengalamannya melalui gambar dan tanda. Hal tersebut menjelaskan mengapa minat terhadap komikpun hingga kini tidak pernah surut. Dengan menggunakan sebuah gaya komunikasi visual a la Marvel yang telah populer, ‘The 99’ memberi sebuah nuansa Islami di dalam ruang seni komik. Dimana plot awal dari kisah ‘The 99’ berawal di Baghdad pada zaman ‘Keemasan Islam’ lalu melintasi Andalusia sampai Saudi Arabia. Walaupun pola kisah dari komik ini tidak jauh berbeda dengan komik-komik mainstream Amerika, namun tokoh-tokoh dari komik ini memiliki kedalaman filosofis yang berakar pada asma-asma Allah di dalam Islam.
Secara psikologis komik ini memiliki dampak yang baik bagi para pembaca maupun seniman muslim. Pertama, melalui semangat ‘The 99’ ini para seniman muslim akan lebih percaya diri untuk dapat berkreasi di dalam arena budaya ‘Pop’, sehingga budaya ‘Pop’ tidak kering dari nuansa-nuansa religius Islami. Kedua, para pembaca nomuslim atau para muslim yang tidak berjiwa Islami serta tidak memiliki kesadaran maupun minat terhadap bacaan-bacaan Islami, dapat memiliki sebuah referensi baru yang dapat mengalihkan perhatian mereka dari konten-konten budaya ‘Pop’ barat yang dominan. Paling tidak, melalui komik ini para pembaca yang tidak familiar terhadap konsep serta istilah-istilah Islam dapat menjadi familiar terhadap konsep-konsep serta istilah Islam. Sehingga, para pembaca ‘The 99’ yang masih kanak-kanak ketika telah memasuki tahap remaja sudah memiliki konsep-konsep Islam di dalam long-term memory mereka. Pada titik tertentu komik ini bahkan mungkin dapat mengubah persepsi pembaca muslim awam terhadap Islam yang kaku, menjadi Islam yang populer. Di lain pihak, bagi para pemuda Islam yang memiliki minat yang besar terhadap hal-hal yang bernuansa Islami, komik ini bisa menjadi sesuatu yang ditunggu-tunggu. Bahkan, saya memprediksi bahwa komik ini akan terjual dengan luas pada konsumen-konsumen yang berjiwa Islami.
Komik ‘The 99’ mungkin lebih tepat disebut sebagai komik Islami dibandingkan sebagai komik Islam. Karena pesan-pesan Islam yang disampaikan di dalam komik ini adalah nuansa budaya yang diutarakan secara implisit. Hal ini mungkin merupakan salah satu strategi yang digunakan oleh Dr Al Mutawa untuk menarik perhatian masa ‘Pop’ terhadap ajaran Islam, yaitu dengan mengkompromikan antara ajaran Islam dengan budaya ‘Pop’. Sebagai seorang muslim kita bisa berharap bahwa ‘The 99’ dapat menjadi pemicu bagi sebuah perubahan representasi sosial Islam. Dimana suatu saat nanti tidak diperlukan lagi sebuah kompromi antara Islam dengan budaya ‘Pop’, karena Islam telah menjadi budaya populer itu sendiri. Sebagaimana telah kita ketahui, ajaran-ajaran Islam serta kisah-kisah yang terdapat di Al Quran merupakan ajaran-ajaran dan kisah etik-universal yang tidak pernah termakan zaman. Pesan-pesan Islam juga merupakan pesan-pesan yang mengandung magnet bagi massa, namun permasalahannya adalah bagaimana mengeksekusi pesan-pesan tersebut dengan cara yang modern. Kita bisa mengingat pada era 70an muncul film layar lebar berjudul ‘The Message’ yang diperankan oleh Anthony Quinn, dimana film itu menyampaikan kisah Islam dalam format yang modern untuk zamannya. Maka kita bisa berharap suatu saat nanti para seniman muslim dapat menyajikan kisah-kisah Al Quran yang universal dengan eksekusi modern sebagaimana Lord of The Rings!
Muhammad Faisal
(disampaikan saat peluncuran komik the "99" di universitas paramadina)
Daftar Referensi
Al-Mutawa et al. (2007). The 99. Imaji Komik: Jakarta
Bonneff, M. (2001). Komik Indonesia. Kepustakaan Populer Gramedia: Jakarta.
Khameini, I. A. (2005). Perang Kebudayaan. Cahaya: Bogor.
Matsumoto, D. (2000). Pengantar Psikologi Budaya. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Ratner, C. (2002). Cultural Psychology; Theory and Method. Kluwer Academic/Plenum Publisher: New York.
Vaughan & Hogg, A. (2005). Social Psychology. Prentice Hall: Australia
www.wikipedia.org
Komentar